Setelah Kau Menikahiku Bag. VIII

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor. "Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu."

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya? Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana? Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu. Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku? Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan. Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai? Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil. Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu. "Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeribaru dekat kantorku."

"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita."

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.

"Kenapa kau menikah dengan Idan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Seingatku, ia bukan tipemu."

Aku tertunduk. "Kenapa, Ita?"

"Idan mencintaiku", bisikku pelan.

"Apa kau mencintainya."

Kebisuanku mem berinya jawaban.

"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."

"Jangan berbohong."

"Idan suami yang baik."

"Tapi apa kau bahagia?"

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

"Berapa lama kau menikah dengan Idan?"

"Setahun."

"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan...."

"Stop." Aku bangkit dan meninggalkannya. Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia? Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.

"Ita," tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri. "Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan."

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.

"Idan."

"Upit? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Aku .... Kau tahu ..., " aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

"Ya?" desak Idan.

"Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?"

"Sekretarismu? Tentu."

"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."

"Lalu?"

"Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."

"Tapi Indri sudah punya anak dua kan?"

"Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa."

"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"

Aku menghela napas. "Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab."

"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar," meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, "Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. aku menyusul."

Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku ...," suara Idan kembali di telepon.

"Karena kau yang membuatkan kopi?"

"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius. "...Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan."

"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?"

"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau."

"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya."

"Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?"

"Keadaan."

"Maksudnya?"

"Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi."

"Astaga. Kasihan sekali."

"Jadi bagaimana?"

Idan diam sejenak. "Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya dipermukaan, tidak utuh, seperti suaminya."

"Lantas aku mesti bilang apa?"

"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi."

"Kau sama sekali tidak membantu," desahku.

"Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang."

"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."

"Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna."

Aku tertawa pahit. "Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu."

"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!" ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon.

"Iya, Pak, sebentar. Istri saya ...."

 

Bersambung ke Bagian IX

Previous
Next Post »