Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri. Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
"Kenapa? Idan melarangmu?"
"Dia tidak tahu apa-apa."
"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?"
Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ...."
"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.
"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidup ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku."
"Aku tidak bisa ...."
"Kenapa tidak?"
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."
"Aku ...."
"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku. "Aku tidak mencintaimu," gumamku.
"Lebih keras lagi."
"Aku tidak mencintaimu."
"Kau berbohong."
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."
"Ita," suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu. "Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa indahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa indahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi ... Entahlah."
"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"
"Aku ...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Idan."
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku. Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah. "Ada apa?"
"Sst!"
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar ... mawar putih?
"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita," katanya. Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
"Aku ... aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. "Aku lupa ...."
Idan tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya. Ia duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil menarik tanganku. Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya? Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Idan membuyarkan renunganku. "Ada apa?"
Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."
Dahinya berkerut. "Pram?"
"Pacarku yang pergi ke Jerman."
"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"
"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku bicara. Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya.
"Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai."
"Oh."
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"
Aku mengangguk.
"Kau yakin akan bahagia dengannya?"
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku. Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.
"Ya?"
"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku."
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.
"Pit, bangun!"
"Ada apa?" gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal."
Aku terlonjak duduk. "Apa?"
"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan kamarku. Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. "Kapan?"
"Baru saja."
"Di?"
"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."
"Idan ...."
Ia membanting pintu kamar di depanku. Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan, aku sudah siap."
Bersambung ke Bagian X
EmoticonEmoticon