Seorang ibu rumah tangga dengan rasa capai pulang dari berbelanja serta membawa hasil belanjanya masuk ke dalam dapur. Puteranya yang baru berumur delapan tahun menunggunya dan menceritakan apa yang telah dilakukan oleh adiknya.
“Ketika aku sedang bermain di halaman dan ayah sedang menerima telepon, adik mengambil crayonnya dan menulis di dinding yang baru saja diberi lapisan kertas dinding yang baru. Aku berkata kepadanya bahwa Ibu akan menjadi amat marah, bila tahu akan hal ini.
Ibunya mengeluh dengan penuh kesal dan bertanya dengan muka yang marah, “Mana anak itu sekarang?” Ia telah meletakkan semua barang belanjaannya dan dengan segera menuju ke almari di mana anaknya itu sedang bersembunyi.
Ia menyebut namanya seraya memasuki kamarnya. Anak itu gemetar dalam ketakutannya karena ia tahu apa yang akan terjadi baginya. Selama beberapa waktu ibunya melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang kasar dan menjelaskan betapa mahal kertas dinding itu yang kini harus diperbarui lagi.
Sambil mengeluh akan pekerjaan yang mahal dan lama untuk memperbaiki dinding teras itu, ia tak habis-habisnya menyalahkan perbuatan anaknya yang ceroboh dan tidak ada rasa sayangnya itu. Lebih hebat ia memaki-maki, lebih hebat pula maranya, sehingga akhirnya ia keluar dari kamar anaknya, hatinya dipenuhi dengan rasa kecewa akan perbuatan anaknya.
Kemudian ia menuju ke teras untuk memastikan kekhawatirannya. Ketika ia melihat dindingnya, matanya dibanjiri oleh air mata. Pesan yang ia baca menusuk hatinya seperti sebuah anak panah. Pesan itu berbunyi, “Aku sayang Mama”, dan dilingkari dengan sebuah hati.
Akhirnya kertas dinding itu berada di sana seperti yang ia temukan. Ia memasang sebuah kerangka lukisan kosong untuk melingkari pesan yang penuh kasih sayang itu.
Sebuah peringatan untuk ibu itu, bahkan untuk kita semua, ambilah waktu secukupnya untuk membaca dengan seksama tulisan tangan di dinding.
God’s Little Acre
EmoticonEmoticon