Ditrich Bonhoeffer, seorang pendeta Jerman telah dipenjarakan dalam tahun 1943 untuk oposisi politiknya dan sebagai seorang Kristen di jaman rezim Nazi. Hukumannya telah dilaksanakan dua tahun kemudian. Pada hari pelaksanaan hukumannya, ia memimpin sebuah kebaktian untuk orang-orang tawanan lainnya. Salah seorang dari tawanan itu, seorang opsir tentara kerajaan Inggris, menceritakan kisah ini :
“Bonhoeffer agaknya selalu menyebarkan suatu suasana kebahagiaan dan kesukacitaan akan peristiwa bahkan yang paling kecil sekalipun dan suatu rasa syukur yang dalam akan faktanya bahwa mereka masih hidup. Ia merupakan salah seorang sedikit yang pernah saya jumpai dan yang menganggap Allah itu begitu nyata dan senantiasa begitu dekat dengan dirinya.
Nah, pada hari Minggu, tanggal 8 April 1945, pendeta Bonhoeffer memimpin sebuah ibadah kecil dan ia telah berbicara kepada kami semua dengan cara yang menyentuh hati kami dengan amat mendalam. Ia dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan jiwa dari keadaan kami sebagai tawanan.
Baru saja ia menyelesaikan doanya, ketika pintu terbuka dan dua orang dalam pakaian preman masuk. Mereka mengatakan, “Tawanan Bonhoeffer, ikutilah kami!” Bagi para tawanan tidak lain, ini berarti : Tiang Penggantungan! Kami semua menyatakan selamat berpisah kepadanya. Ia memanggil aku sendiri dan berkata, “Inilah akhir dari segala-galanya, namun bagiku, inilah permulaan dari kehidupan!” Esok harinya, ia digantung sampai mati di Flossenburg.
Keluar dari penderitaan lahirlah ekspresi terbesar dari pengucapan syukur dan kiranya dalam pasca ancaman serta serangan-serangan teroris, avian-flu dan antrax, keadaan ekonomi yang masih semrawut, kecelakaan pesawat terbang, kita bahkan mempunyai lebih banyak alasan lagi untuk bersyukur dan merayakan hari ucapan syukur.
EmoticonEmoticon