“Sama seperti Anak Manusia datang, bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.” - Mat. 20:28
Keputusan telah diambil. Prajurit telah dikerahkan dan kapal-kapal perang telah di tengah perjalanan. Hampir tiga juta tentara sudah siap untuk menghantam dinding Atlantik dari Adolf Hitler di negara Prancis. D-Day telah mulai digerakan. Tanggung jawab untuk invasi ini terletak di pundak Jendral berbintang empat Dwight D. Eisenhower.
Semalam sebelum invasi dimulai, jendral ini menghabiskan waktunya dengan pasukan dari 101st Airborne. Mereka menamakan diri “Pekikan Burung Rajawali”. Ketika pasukan sedang mempersiapkan pesawat-pesawat terbang mereka dan mengecek perlengkapan mereka, Ike mendekati prajurit demi prajurit untuk menyampaikan kata-kata yang membesarkan hati mereka. Banyak di antara mereka yang cukup muda untuk menjadi anaknya. Ia memperlakukan mereka seperti itu. Seorang koresponden menulis, tatkala Eisenhower mengamati pesawat-pesawat terbang tinggal landas dan menghilang dalam kegelapan di malam buta, kedua tangannya dimasukan dalam saku sedalam-dalamnya sedangkan kedua matanya penuh dengan air-mata.
Kemudian, jendral itu pergi ke baraknya dan duduk di belakang meja tulisnya. Ia mengambil sehelai kertas dan setangkai pena lalu menulis sebuah pesan yang akan di kirim ke White House bila invasi besar-besaran itu akan menemui kegagalan. Pesan itu merupakan sesuatu yang singkat dan amat berani. “Pendaratan kita telah menemui kegagalan, tentara kita, angkatan udara dan laut telah melakukan tugasnya dengan penuh keberanian dan ketaatan yang luar biasa dan melakukan kewajibannya sedapat-dapatnya. Maka segala tanggung jawab akan kegagalan ini, terletak padaku seorang diri.”
Aku kira, bahwa tindakan yang paling berani pada hari itu bukanlah yang berada di kokpit sebuah pesawat terbang atau lubang perlindungan prajurit, melainkan di sebuah meja tulis, ketika sesosok yang berada di puncak pimpinan mengambil alih semua tanggung jawab dari bawahannya. Bila yang berada di puncak komando bersedia untuk memikul kesalahannya bahkan sebelum kesalahan itu benar-benar terjadi.
Sungguh seorang pemimpin yang amat langka, jenderal ini. Sesuatu yang tidak lazim, bukti keberanian ini. Ia merupakan contoh dari suatu sifat yang jarang ditemui di masyarakat yang dipenuhi dengan perkara-perkara hukum, pemecatan dan perceraian. Kebanyakan dari kita ingin mendapatkan keuntungan dari kebenaran yang kita lakukan. Sementara, beberapa di antara kita bersedia menerima hukuman dari kesalahan kita. Namun sedikit sekali yang bersedia memikul tanggung jawab akan kesalahan orang lain. Lebih langka lagi yang bersedia memikul kesalahan dari sesuatu perbuatan yang belum dilakukan.
Eisenhower telah melakukannya, dan oleh karena itu, ia menjadi seorang pahlawan.
Demikian pula, Yesus Kristus. Akibatnya adalah ia menjadi Juru Selamat kita. Sebelum pertempuran dimulai, Ia telah mengampuni. Sebelum suatu kesalahan dapat diperbuat, Ia telah menawarkan pengampunan dan kemurahan. Ia yang berada di puncak mengambil alih tanggung jawab dari mereka yang berada di bawah. Bacalah bagaimana Yesus menjelaskan untuk apa Ia datang.
“Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”
Kalimat “Anak Manusia” membangkitan suatu gambaran yang sama bagi orang Yahudi di jamannya Yesus, seperti pengertian pangkat “jenderal” bagi kita. Hal itu merupakan suatu pernyataan akan otoritas dan kekuasaan.
Perhatikanlah semua gelar yang Yesus dapat gunakan untuk memberi definisi akan diri-Nya di dunia : Raja di atas segala raja, AKU ADA yang maha kuasa, Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Tuhan atas segala tuhan, Yehova, Yang maha Tinggi dan Maha Kudus. Semua gelar itu pantas dan layak untuk dikenakan kepada-Nya. Namun, Yesus tidak menggunakannya. Sebaliknya Ia menamakan diri-Nya Anak Manusia. Gelar ini muncul delapan puluh dua kali dalam Perjanjian Baru. Delapan puluh satu kali dalam ke Empat Injil. Delapan puluh kali keluar dari mulut-Nya Yesus sendiri.
Untuk dapat mengerti Yesus, kita perlu untuk mengerti apa arti gelar ini. Bila Yesus berpendapat hal itu cukup penting sehingga sampai mengulang sebanyak delapan puluh kali, hal ini pasti cukup penting untuk kita selidiki bersama.
Sedikit sekali orang yang menyangsikan bahwa hal itu berakar di kitab Daniel 7, sebuah teks yang seakan-akan merupakan suatu pembuatan film yang menakjubkan. Peramal di persilahkan duduk dalam suatu gedung bioskop yang sedang memainkan sebuah adegan akan kekuatan-kekuatan dunia di masa depan. Kerajaan-kerajaan itu digambarkan sebagai binatang-binatang : fanatik, selalu lapar dan rakus serta jahat. Singa dengan sayap burung rajawali mengambarkan Babilon, kemudian beruang dengan tiga iga dalam mulutnya mewakili Medo Persia. Iskandar Agung digambarkan sebagai seekor leopard dengan empat sayap dan empat kepala dan binatang yang keempat dengan gigi besi mewakili kerajaan Rumawi. Namun ketika adegan-adegan berlanjut, kerajaan-kerajaan itu memudar. Satu demi satu kekuatan dunia itu runtuh. Dan pada akhirnya, Allah yang menang dan menguasai segala sesuatu, Yang Lanjut Usianya itu, berkenan untuk menerima dalam hadirat-Nya Anak Manusia. Kepada-Nya diberikan kekuasaan, kemuliaan, dan kuasa seorang raja. Dia digambarkan sebagai sesuatu yang berkobar-kobar putih. Duduk di atas seekor kuda yang perkasa dan sebuah pedang di tangannya.
Bagi orang Yahudi, Anak Manusia merupakan simbol dari kemenangan. Si penakluk. Saudara Besar, Tangan Kanan dari yang Maha Tinggi dan yang Maha Kudus. Raja, yang datang dari atas awan-awan di langit di atas kereta tempur yang berapi-api, penuh dengan rasa dendam dan murka terhadap mereka yang telah menindas orang-orang suci dari Allah.
Anak Manusia adalah seorang jendral berbintang empat yang memanggil tentaranya untuk menyerbu dan memimpin mereka menyongsong kemenangan.
Oleh karena itu, apabila Yesus berbicara tentang Anak manusia dalam pengertian kekuasaan, orang-orang bersorak. Apabila tentang suatu dunia yang baru di dalam mana Anak manusia di atas singgasana yang mulia, orang-orang mengerti. Bilamana Ia berbicara tentang Anak Manusia akan datang dari awan-awan di langit disertai oleh kuasa besar dan kewibawaan, orang-orang dapat membayangkan pemandangan itu. Apabila Ia berbicara tentang Anak Manusia duduk di sebelah kanan Bapa di surga, setiap orang dapat membayangkan gambarnya.
Namun, bila ia mengatakan bahwa Anak Manusia akan menderita, orang-orang berhening. Ini tidak cocok dengan gambaran mereka, itulah bukan yang mereka nantikan.
Seandainya Anda di tempat mereka. Anda telah ditindas oleh pemerintah Romawi selama bertahun-tahun. Selama itu Anda diajar bahwa Anak Manusia akan membebaskan Anda. Kini, Ia di sini. Yesus menamakan diri-Nya Anak Manusia. Ia membuktikan bahwa Ia adalah Anak Manusia. Ia mampu untuk membangkitan kembali orang yang telah mati dan dapat meredahkan angin ribut. Pengikut-Nya makin lama makin banyak. Anda bersemangat. Akhirnya, keturunan Abraham akan dibebaskan.
Namun, apa yang dikatakanNya? “Anak Manusia tidak datang untuk dilayani. Ia datang untuk melayani orang lain.” Sebelumnya, Ia mengatakan, ”Anak Manusia akan diserahkan kepada rakyat, dan mereka akan membunuh-Nya. Setelah tiga hari, Ia akan bangkit kembali dari kematian.”
Tunggu sebentar! Hal itu tidak mungkin, tidak masuk akal, sesuatu kontradiksi yang tak dapat dipertahankan. Tidak mengherankan bahwa “pengikut-pengikut-Nya tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Yesus, sementara mereka tidak berani menanyakan kepada-Nya.” Seorang raja yang akan melayani mereka? Anak Manusia dikhianati? Penakluk dibunuh? Wakil dari Yang Lanjut Usia diperolok-olokkan? Diludahi? Namun itulah ironi dari Yesus yang menyandang gelar “Anak Manusia” Inilah juga ironi dari salib.
Yesus mengenakan mahkota kerajaan, namun menyimpan sebuah hati seorang Bapa. Ia adalah seorang jendral yang bertanggung jawab akan kesalahan-kesalahan prajurit-Nya. Namun Yesus tidak menulis, melainkan Ia telah membayar biayanya. Ia menjadi uang tebusan. Ia adalah jendral yang mati sebagai ganti prajurit-Nya, Raja yang menderita untuk petani, seorang Majikan yang mengorbankan diri-Nya bagi pelayan-Nya.
Ketika aku masih seorang bocah, aku pernah membaca sebuah cerita Rusia tentang seorang majikan dan pelayannya yang sedang mengadakan perjalanan ke sebuah kota. Sebelum mereka tiba di kota itu, mereka tertangkap oleh sebuah badai salju yang dahsyat. Mereka kehilangan arah mereka dan tak dapat tiba di kota itu sebelum malam.
Esok harinya, beberapa kawan yang amat perihatin akan keselamatan mereka, mencari kedua orang yang tersesat itu. Akhirnya, kawan-kawannya berhasil menemukan majikannya yang telah mati beku kedinginan dengan wajah terkubur dalam es. Tatkala mereka mengangkat mayatnya, mereka menemukan pelayannya- amat kedinginan, namun masih hidup. Ia berhasil diselamatkan jiwanya dan kemudian bercerita bagaimana majikannya secara suka-rela meletakkan dirinya di atas tubuh pelayannya, sehingga yang belakangan ini selamat.
Aku bertahun-tahun tidak ingat lagi kisah itu. Namun, ketika aku membaca apa yang Yesus akan lakukan untuk kita, cerita itu timbul kembali karena Yesus adalah majikan itu yang telah mati untuk menyelamakan pelayan-pelayannya.
Ia adalah jenderal yang menanggung akan kesalahan-kesalahan prajurit-Nya. Ialah Anak Manusia yang datang untuk melayani dan yang memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan untuk Anda.
“And The Angels were silent” - by Max Lucado
EmoticonEmoticon