Hari pertama setiap bulan adalah hari yang ditetapkan oleh Jepang, penjajah kami, sebagai hari pemujaan dewa matahari. Seluruh rakyat diperintahkan untuk beramai-ramai pergi ke kuil. Di sekolah putri Kristen, tempat aku mengajar musik, semua murid dipanggil untuk berkumpul di halaman. Kepala sekolah menyuruh para guru berkeliling ke kelas-kelas dan kamar-kamar kecil, mencari kalau-kalau ada murid yang bersembunyi untuk menghindari perintah memuja dewa. Ingin menangis rasanya aku memandang keributan di halaman itu. Aku berlutut dengan hati hancur, berdoa kepada Yesus. Tiba-tiba terdengar langkah sepatu mendekati pintu, lalu suara yang keras dan kukenal.
"Nona Ahn! Engkau di situ?" Itu kepala sekolah. Ia khusus datang untuk mencariku. Dengan tenang aku berdiri lalu membuka pintu. Ia memandangku dengan tajam, penuh kemarahan.
"Hari ini adalah hari pertama bulan ini."
Seperti aku tak tahu saja.
"Kita harus membawa murid-murid ke kuil di atas bukit. Ingat?"
Mata kami bertemu dan berperang diam-diam.
"Engkau bukan satu-satunya orang percaya," lanjutnya dengan suara tegang.
"Sekolah ini sekolah Kristen. Sebagian besar murid adalah anak Kristen. Semua guru adalah Kristen. Bahkan saya sendiri juga Kristen!"
Aku tetap diam.
"Pikirlah, nona Ahn. Adakah orang Kristen yang ingin menyembah berhala dan dewa-dewa? Kita semua membenci hal itu. Tetapi kita akan dianiaya bila melawan. Jika kita menolak perintah mereka, sekolah ini akan ditutup!"
Aku tahu. Hal itu sangat mengganggu pikiranku. Jepang yang menjajah Korea, melawan Allah dan menghina Yesus. Setiap orang yang menolak untuk menyembah dewa mereka, entah dia seorang penginjil, pendeta atau diaken, akan disiksa. Aku mengerti, bahwa kepala sekolah ingin bertanggung jawab atas keselamatan para guru dan murid. Tetapi apakah ia lupa sabda Yesus: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup?"
Aniaya itu bukannya baru mulai. Di Korea, sudah sejak lama banyak orang Kristen dibunuh karena mempertahankan kemurnian iman mereka. Aku mengerti mengapa kepala sekolah memaksa kami pergi ke kuil, tetapi aku tidak dapat mengerti bagaimana ia dapat sampai kepada keputusan seperti itu, melawan Allah dan bersekutu dengan berhala.
"Engkau tahu kesusahan apa yang akan dialami sekolah ini jika engkau menolak," ia berkata dengan nada benci.
"Tetapi engkau egois, hanya memikirkan dirimu sendiri."
"Jika anda menghendaki aku pergi ke bukit itu, baiklah," kataku sambil melangkah keluar ruang musikku yang tenang, menuruni tangga didepan dia.
"Dan ingat, engkau harus menyembah disitu, nona Ahn," serunya. Aku tidak menjawab. Anak-anak memandangi aku dengan bingung dan cemas. Rupanya mereka tidak mengharap aku mengalah terhadap perintah kepala sekolah. kami lalu berbaris menuju bukit. Bisik-bisik terdengar di belakangku.
"Bila nona Ahn juga pergi, pasti Tuhan akan melindungi kita!"
"Kepala sekolah kita sungguh berkuasa! Ia berhasil menyuruh nona Ahn pergi ke bukit!"
"Pasti nona Ahn takut kepada polisi."
Aku memandang ke langit, pikiranku melayang kepada Daniel. Keadaan kami di Korea mirip dengan keadaan Daniel, dipaksa menyembah patung. Jepang membangun kuil-kuil di semua kota dan desa, bahkan memaksa penduduk menaruh kuil kecil di rumah mereka, di sekolah-sekolah, juga di kantor-kantor. Yang terburuk adalah, didalam Gereja pun harus ditaruh kuil kecil.
Sebelum kebaktian dimulai, setiap orang yang hadir harus membungkuk di depan kuil kecil itu. Polisi selalu mengawasi setiap kebaktian. Para pendeta menjadi sasaran khusus. Jika mereka menentang peraturan itu, mereka akan diseret ke kantor polisi dan disiksa. Tidak sampai disitu saja. Jatah makanan untuk keluarga mereka pun dikurangi, sehingga keluarga mereka kelaparan. Karena itu tidak heran kalau orang Korea umumnya membenci Jepang dan menyebut mereka setan.
Mungkin aku lebih mengenal orang Jepang daripada kebanyakan orang Korea yang lain. Ibuku seorang Kristen yang saleh dan ia ingin aku masuk sekolah misi. Tetapi ayahku yang belum Kristen, menyekolahkan aku di sekolah negeri dan disitulah aku memperoleh pendidikan Jepang. Ayah juga menolak ketika ibu mengusulkan agar setelah lulus dari sekolah menengah, aku masuk sekolah Kristen di Amerika.
"Ia tak akan berhasil dalam hidup bila tidak belajar secara Jepang," kata Ayah.
"Ia harus melanjutkan sekolah di Jepang."
Begitulah, setelah lulus di Jepang, aku kembali ke Korea. Hidup kelihatannya memang lebih mudah. Segera aku mendapatkan pekerjaan, mengajar di suatu sekolah negeri untuk wanita. Tetapi kepala sekolahnya sombong dan angkuh, sebab itu aku mengajar di sekolah misi.
Kemudian Jepang mulai memaksakan penyembahan dewa-dewa. Mula-mula aku berhasil menolak dengan berbagai alasan, tetapi aku sadar bahwa keadaan ini tidak dapat kupertahankan terus. Perang antara Tiongkok dan Jepang berkobar hebat, dan suatu semangat keagamaan yang baru berkobar di antara para pemimpin Jepang. Mereka telah bertekad untuk memaksa semua orang Korea, terutama yang Kristen, bersujud di depan dewa-dewa mereka.
Dalam perjalanan ke bukit itu aku mengingat kembali kata-kata Sadrakh, Mesakh dan Abednego kepada Nebukatnezar, raja Babilonia. "Tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." (Daniel 3:18).
Mereka memutuskan untuk lebih baik mati dalam nyala api daripada melawan Allah. Aku juga demikian. Dengan pertolongan Tuhan aku tidak akan pernah membungkuk di depan berhala Jepang, sekalipun Tuhan tidak melepaskan aku dari cengkeramannya. Aku telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus. Aku hanya dapat bersujud kepada Allah, Tuhan dan Juruselamatku.
Sambil berjalan aku berdoa.
"Hari ini, di atas bukit ini, di tengah kerumunan banyak orang, aku akan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Ini akan kulakukan demi kekudusan namaMu."
Hatiku diliputi kedamaian. Ingin sekali aku menyanyi. Hatiku lapang, seluas samudera. Awan yang berarak seakan-akan bersahabat denganku. Kehidupan masa mudaku tidak akan kujalani untuk kepentinganku sendiri. Aku akan mempersembahkannya kepada Tuhan dan memberi kesaksian tentang dia.
"Domba-dombaKu mendengarkan suaraKu," kuulangi pasal 10 dari Injil Yohanes dengan bersuara, "dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tanganKu. Bapaku, yang memberikan mereka kepadaKu, lebih besar dari siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa." (ayat 27-29)
Telah banyak orang berkumpul di depan kuil, sebelum kami sampai disitu. Belasan sekolah dengan murid-murid yang berbaris rapi, tegak seperti patung, tak berani bergerak ataupun berbisik. Kami datang paling akhir.
Semua menengok kearah kami, terutama polisi-polisi Jepang yang tak ramah itu. Aku seperti anak kecil disitu, takut bersuara, takut kepada polisi-polisi itu. Hatiku berat, aku mencoba berdoa, tetapi doaku lemah sekali. Kupejamkan mataku sambil mengumamkan doa Bapa Kami tiga kali. Kurasakan keberanian dan kekuatanku mulai timbul.
"Bapa," doaku. "Aku sangat lemah! Tetapi aku ini dombaMu, aku akan taat mengikuti Engkau. Bapa, peliharalah aku."
"Perhatian!" Sebuah suara keras mengatasi gumam orang-orang yang berhimpun di situ. segera semua berdiri tegak baris demi baris. Kami sudah terbiasa patuh kepada aba-aba seperti itu, sebab lebih dari 37 tahun lamanya kami telah dijajah oleh Jepang.
"Hormat kepada Amaterasu Omikami (Dewa Matahari)!"
Lalu kami harus membungkukkan badan dalam-dalam ke arah matahari. Ya, semua membungkuk. Hanya aku yang tetap tegak memandang ke langit. Menit-menit sebelumnya, hatiku terasa berat dan penuh ketakutan, tetapi kini semua itu lenyap. Aku sangat tenang. Hati nuraniku berbisik, "Engkau telah memenuhi kewajibanmu."
Ketika kemudian aku berjalan pulang di belakang barisan murid-murid, sekali lagi aku berbicara kepada Yesus. "Semua sudah selesai, Tuhan. Aku telah melakukan apa yang harus aku lakukan. Selanjutnya segala sesuatu kuserahkan kepadaMu. Satu-satunya jalan yang dapat kutempuh sekarang ialah mendengarkan dan mengikuti perintahMu."
Pikiranku seperti seorang Jendral yang baru saja mengumumkan perang. Tetapi ketika tiba kembali ke sekolah, hatiku diliputi awan gelap. Aku tidak takut mati, tetapi aku ngeri membayangkan siksaan. Akan tahankah aku? Bagaimana seandainya aku, karena disiksa, tak tahan, lalu berbalik menyangkal Tuhan?
Memikirkan semua ini membuat aku lemas.
Tetapi tidak, aku tak boleh mundur. Aku telah maju dan meniup terompet perang. Aku seorang berdosa dan sangat lemah, tetapi aku harus berjuang.
"Jangan gelisah hatimu," kata Yesus kepadaku.
"Percayalah kepada Allah, percayalah kepadaKu. Aku tidak akan meninggalkanmu sebagai yatim piatu. Damai sejahtera Kutinggalkan kepadamu. Dama sejahteraKu Kuberikan kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu." (Yohanes 14:1,18,27)
Seberkas cahaya menguak kegelapan hatiku. Awan biru tersenyum manis, menggemakan nyanyian:
Dengan tenaga yang fana
Niscaya kita kalah.
Pahlawan kita Dialah
Yang diurapi Allah.
Siapa NamaNya?
Sang Kristus mulia.
Tuhanmu yang Esa,
Panglima semesta...
Niscaya Ia jaya!
Martin Luther
(Terjemahan Yamuger)
Martin Luther. Terbayang dibenakku hebatnya perjuangan yang ia lakukan bagi Tuhan dan kebenaranNya. Ia seorang sarjana yang berwibawa. Tetapi aku?
Aku hanyalah wanita muda yang tak dikenal, lemah, tanpa kekuasaan. Lalu aku ingat rasul Paulus.
Pasti ia pun mengalami saat-saat pergumulan seperti aku kini. Aku menimba kekuatan dari apa yang ditulisnya: "Karena jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Korintus 12:10)
"O, Bapa," aku berdoa, "kuatkanlah aku!"
EmoticonEmoticon