Suaranya bergetar. "Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai."
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi? Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya.
Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku. Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, "Kau pucat sekali."
"Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi."
"Terlalu nervous?"
"Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh."
Aku tersenyum.
"Bagaimana aku tadi?" bisiknya.
"Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?"
"Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku."
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku. Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan --simulasi-- kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur. Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
"Aku ada rapat pukul setengah delapan," seru Idan sambil membalik dadar telurnya.
"Aku mesti berangkat sebelum setengah enam." Kucicipi nasi goreng buatannya.
"Aku tidak tahu kau pintar memasak."
"Pramuka," komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. "Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit."
"Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput."
Idan terbahak. "Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi."
"Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu."
"Jangan," Idan menggeleng. "Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda."
"Jadi?"
Idan menggaruk kepalanya. "Bisakah kau masak nasi tiap hari?" pintanya.
"Aku punya rice cooker."
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
"Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik."
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
"Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga," katanya saat kembali ke kursinya.
"Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya.
"Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat."
Dahiku berkerut. "Untuk apa?"
"Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?"
Aku menggeleng. "Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh."
"Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat."
"Kau kedengaran seperti diktator."
"Kurasa aku tidak minta terlalu banyak."
"Itu terlalu banyak untukku."
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
"Ingat," lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu."
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap.
"Baik. Kalau itu maumu," desisnya kemudian. Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya. Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.
"Aku pergi, Pit," katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya , berniat untuk memperbaiki situasi.
"Sebagian teman-temanku menyarankan ini," ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku.
"Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku."
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Dasar tidak tahu terima kasih! Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini. Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang? Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana. Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali! Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit. Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku saat aku mengangkat receiver.
"Upit?"
"Idan?" jeritku. "Kau di mana?"
"Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?"
Bersambung ke Bagian IV
EmoticonEmoticon