Jika menikah adalah salah satu prioritas yang ingin dicapai, maka penting untuk mengetahui, apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum masuk ke dalamnya. Selain itu, kita perlu juga memperhatikan keseimbangan antara aktivitas-aktivitas persiapan yang dilakukan untuk mencapai rencana tersebut.
Berdasarkan survei, mayoritas orang menghabiskan waktu dan energi untuk mempersiapkan pernikahan sebatas urusan finansial. Karena itu, banyak yang bekerja rodi siang dan malam supaya bisa mengkredit rumah, mobil, dan segala kebutuhan pernikahan lainnya. Pergi dari rumah jam 7 pagi, baru pulang lagi jam 9 malam. Sabtu juga kerja, dari siang sampai sore. Bisa sampai malam kalau tiba-tiba ada klien penting yang berkunjung.
Minggu pagi menjadi waktu terbaik untuk "tewas" dengan tenang di tempat tidur. Minggu siang bertemu dengan pasangan untuk makan siang bersama, jalan-jalan di mall, atau ke pameran furniture untuk mulai mencari perlengkapan rumah tangga. Mingu sore ke gereja lalu mencari cafe untuk makan malam bersama. Di situlah, selama kurang lebih 1 jam, akhirnya ada waktu untuk bicara dari hati ke hati. Tapi hanya itu. Satu jam seminggu untuk bicara dengannya. Dan beberapa bulan kemudian, atas desakan orang tua dan calon mertua yang selalu berkata, "Cepat menikah, sudah umur berapa sekarang?" lonceng pernikahan pun segera dibunyikan.
Demikian intisari dari survei sederhana yang dilakukan oleh Young Life Indonesia (YLI), sebuah ministry yang bergerak di kajian kepemimpinan kaum muda dan profesional Indonesia. Analogi dari situasi ini adalah orang yang hendak membangun rumah. Dia bekerja mati-matian supaya bisa membeli semen, batu, pasir, cat, dan sebagainya. Tapi, di saat-saat terakhir, dia tidak tahu apakah tanah tempat dia akan membangun rumah itu cukup kuat untuk dijadikan fondasi. Dan dia juga sebenarnya tidak yakin, rumah dengan gaya seperti apakah yang akan dibangunnya. Pokoknya rumah, bentuknya seperti apa, bagaimana nanti! Bukankah Tuhan akan menolong?
Ada 4 aspek aktivitas yang digunakan untuk melihat apakah aktivitas seseorang sudah seimbang atau belum :
1. Pekerjaan
2. Pengaturan hidup atau disiplin diri
3. Pengembangan diri atau pembelajaran
4. Hubungan dengan orang lain
Sementara itu, definisi "seimbang" di sini dilihat dari 2 dimensi :
Keseimbangan aktivitas-aktivitas yang dijalankan dan Kesesuaian antara rencana dengan aktivitas-aktivitas tersebut.
Hasil surveinya, 67% dari 31 orang yang di-riset menunjukkan ketidakseimbangan dalam beraktivitas. Sedang dalam dimensi kedua, 9% lebih melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak terkait sama sekali dengan apa yang direncanakan, dan sekitar 45% melakukan aktivitas-aktivitas yang kurang terkait dengan rencana. Riset sederhana ini memang tidak membahas apa dampak dari ketidakseimbangan itu. Tapi tingginya tingkat kesibukan para konselor pernikahan di gereja-gereja, dan maraknya perceraian di antara pasangan-pasangan muda, merupakan indikasi nyata dari banyaknya orang yang dibutakan oleh cinta dan segera menikah lalu membangun rumah tangga, tanpa memiliki fondasi yang kuat secara seimbang.
Beberapa persiapan yang perlu dilakukan selain finansial antara lain :
*Mengenal Diri Pasangan Yang Asli*
Persiapan yang seringkali tidak dilakukan calon suami istri adalah mengekplorasi "the real him/her" selama berpacaran. Umumnya pasangan hanya melakukan berbagai aktivitas bersama, tapi jarang punya keberanian melakukan dialog mendalam untuk menemukan dirinya yang asli. Jadi intinya harus dialog-sentris, bukan sekedar aktivitas-sentris. Apalagi karena selama masa pacaran toleransi masih tinggi sehingga asumsi tentang siapa dia diwarnai oleh persepsi yang tidak realistis. Begitu pernikahan terjadi, langsung terkaget-kaget karena ada banyak "hidden package" yang menjadi bonus, yang baru muncul ketika situasinya kondusif. Ternyata waktu lapar atau sakit misalnya, dia menjadi begitu emosional dan sangat tidak sabar.
Perkataannya pun bisa sangat agresif. Atau ketika masuk ke soal seks, ternyata dia punya pikiran yang tidak pernah dibahas selama berpacaran. Sekedar saran, mungkin waktu berpacaran yang ideal adalah sekitar 2-3 tahun supaya kita bisa melihatnya dalam berbagai situasi.
*Siap Mental*
Untuk seorang wanita, perlu sekali menyiapkan mental untuk menjadi penolong bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Seringkali wanita tidak siap untuk hal itu. Apalagi karena wanita harus melahirkan anak dan mengatur rumah tangga. Karena itu wanita perlu mempersiapkan diri dengan membaca buku-buku tentang kewanitaan, anak, dan keluarga sebelum menikah. Juga perlu belajar tentang manajemen waktu dan manajemen keuangan.
*Siap-siap Menjadi PhD (Perfect Husband and Daddy)*
Setelah menikah, seorang wanita secara intuitif biasanya akan berubah. Walaupun dia masih bekerja, tapi dia merasa bahwa rumah tangga adalah prioritas yang harus diutamakan. Tapi seringkali pria tidak mengalami perubahan intuitif ini. Karena itu secara khusus pria harus mempersiapkan perubahan mental ini, sebab kalau tidak akan terjadi benturan, yang jika tidak dibereskan akan menjadi jurang pemisah. Lambat laun, kalau masing-masing punya aktivitas sendiri-sendiri, celah terhadap perselingkuhan akan mudah terbuka.
*Rencanakan Kehamilan*
Kalau pasangan sudah menikah, otomatis orang-orang akan bertanya, "Sudah hamil belum?". Walaupun begitu, sebaiknya kita benar-benar mengerti makna kehadiran seorang anak. Bukan cuma 'pelengkap' kehidupan berumah tangga saja. Terutama mengerti segi finansial dan pembelajaran tentang anak. Harus dipikirkan, jika punya anak nanti apakah istri akan tetap bekerja? Kalau ya, anak akan tinggal dengan siapa? Kalau dengan suster, otomatis nilai-nilai dari suster-lah yang akan diturunkan ke anak. Tapi kalau istri yang mengasuh anak sehingga tidak bekerja, apakah secara finansial sudah mencukupi?
*Seimbangkan Perubahan Aktivitas*
Apakah kita sudah punya komunitas yang tepat, yang bisa mendukung pertumbuhan rohani kita dan anak-anak kita? Kadang ada komunitas yang sangat menekankan jemaat untuk terlibat dalam pelayanan. Kalau mengurangi pelayanan berarti sudah mundur. Ini akan membuat kita merasa bersalah. Karena itu aktivitas yang dijalani ketika masih single dan setelah berkeluarga harus ditimbang ulang supaya terjadi keseimbangan.
*Rumah dan Mertua*
Kita harus membina hubungan yang sehat dengan keluarga besar calon pasangan kita. Jika hubungan tidak harmonis, dikuatirkan nantinya akan terjadi intervensi dari mertua atau anggota keluarga lain. Tapi selain itu, tiap pasangan memang seharusnya tinggal sendiri (tidak tinggal di pondok mertua indah). Karena perbedaan-perbedaan yang ada dapat memicu perselisihan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tidak harus membeli rumah, minimal awalnya menyewa atau mengontrak.
Hidup bisa dibuat menjadi lebih seimbang, sederhana, dan berkualitas, jika kita mengetahui gambaran besar dari apa yang akan dihadapi dan fondasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan gambaran tersebut.(fis)
Sumber: getlife
Berdasarkan survei, mayoritas orang menghabiskan waktu dan energi untuk mempersiapkan pernikahan sebatas urusan finansial. Karena itu, banyak yang bekerja rodi siang dan malam supaya bisa mengkredit rumah, mobil, dan segala kebutuhan pernikahan lainnya. Pergi dari rumah jam 7 pagi, baru pulang lagi jam 9 malam. Sabtu juga kerja, dari siang sampai sore. Bisa sampai malam kalau tiba-tiba ada klien penting yang berkunjung.
Minggu pagi menjadi waktu terbaik untuk "tewas" dengan tenang di tempat tidur. Minggu siang bertemu dengan pasangan untuk makan siang bersama, jalan-jalan di mall, atau ke pameran furniture untuk mulai mencari perlengkapan rumah tangga. Mingu sore ke gereja lalu mencari cafe untuk makan malam bersama. Di situlah, selama kurang lebih 1 jam, akhirnya ada waktu untuk bicara dari hati ke hati. Tapi hanya itu. Satu jam seminggu untuk bicara dengannya. Dan beberapa bulan kemudian, atas desakan orang tua dan calon mertua yang selalu berkata, "Cepat menikah, sudah umur berapa sekarang?" lonceng pernikahan pun segera dibunyikan.
Demikian intisari dari survei sederhana yang dilakukan oleh Young Life Indonesia (YLI), sebuah ministry yang bergerak di kajian kepemimpinan kaum muda dan profesional Indonesia. Analogi dari situasi ini adalah orang yang hendak membangun rumah. Dia bekerja mati-matian supaya bisa membeli semen, batu, pasir, cat, dan sebagainya. Tapi, di saat-saat terakhir, dia tidak tahu apakah tanah tempat dia akan membangun rumah itu cukup kuat untuk dijadikan fondasi. Dan dia juga sebenarnya tidak yakin, rumah dengan gaya seperti apakah yang akan dibangunnya. Pokoknya rumah, bentuknya seperti apa, bagaimana nanti! Bukankah Tuhan akan menolong?
Ada 4 aspek aktivitas yang digunakan untuk melihat apakah aktivitas seseorang sudah seimbang atau belum :
1. Pekerjaan
2. Pengaturan hidup atau disiplin diri
3. Pengembangan diri atau pembelajaran
4. Hubungan dengan orang lain
Sementara itu, definisi "seimbang" di sini dilihat dari 2 dimensi :
Keseimbangan aktivitas-aktivitas yang dijalankan dan Kesesuaian antara rencana dengan aktivitas-aktivitas tersebut.
Hasil surveinya, 67% dari 31 orang yang di-riset menunjukkan ketidakseimbangan dalam beraktivitas. Sedang dalam dimensi kedua, 9% lebih melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak terkait sama sekali dengan apa yang direncanakan, dan sekitar 45% melakukan aktivitas-aktivitas yang kurang terkait dengan rencana. Riset sederhana ini memang tidak membahas apa dampak dari ketidakseimbangan itu. Tapi tingginya tingkat kesibukan para konselor pernikahan di gereja-gereja, dan maraknya perceraian di antara pasangan-pasangan muda, merupakan indikasi nyata dari banyaknya orang yang dibutakan oleh cinta dan segera menikah lalu membangun rumah tangga, tanpa memiliki fondasi yang kuat secara seimbang.
Beberapa persiapan yang perlu dilakukan selain finansial antara lain :
*Mengenal Diri Pasangan Yang Asli*
Persiapan yang seringkali tidak dilakukan calon suami istri adalah mengekplorasi "the real him/her" selama berpacaran. Umumnya pasangan hanya melakukan berbagai aktivitas bersama, tapi jarang punya keberanian melakukan dialog mendalam untuk menemukan dirinya yang asli. Jadi intinya harus dialog-sentris, bukan sekedar aktivitas-sentris. Apalagi karena selama masa pacaran toleransi masih tinggi sehingga asumsi tentang siapa dia diwarnai oleh persepsi yang tidak realistis. Begitu pernikahan terjadi, langsung terkaget-kaget karena ada banyak "hidden package" yang menjadi bonus, yang baru muncul ketika situasinya kondusif. Ternyata waktu lapar atau sakit misalnya, dia menjadi begitu emosional dan sangat tidak sabar.
Perkataannya pun bisa sangat agresif. Atau ketika masuk ke soal seks, ternyata dia punya pikiran yang tidak pernah dibahas selama berpacaran. Sekedar saran, mungkin waktu berpacaran yang ideal adalah sekitar 2-3 tahun supaya kita bisa melihatnya dalam berbagai situasi.
*Siap Mental*
Untuk seorang wanita, perlu sekali menyiapkan mental untuk menjadi penolong bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Seringkali wanita tidak siap untuk hal itu. Apalagi karena wanita harus melahirkan anak dan mengatur rumah tangga. Karena itu wanita perlu mempersiapkan diri dengan membaca buku-buku tentang kewanitaan, anak, dan keluarga sebelum menikah. Juga perlu belajar tentang manajemen waktu dan manajemen keuangan.
*Siap-siap Menjadi PhD (Perfect Husband and Daddy)*
Setelah menikah, seorang wanita secara intuitif biasanya akan berubah. Walaupun dia masih bekerja, tapi dia merasa bahwa rumah tangga adalah prioritas yang harus diutamakan. Tapi seringkali pria tidak mengalami perubahan intuitif ini. Karena itu secara khusus pria harus mempersiapkan perubahan mental ini, sebab kalau tidak akan terjadi benturan, yang jika tidak dibereskan akan menjadi jurang pemisah. Lambat laun, kalau masing-masing punya aktivitas sendiri-sendiri, celah terhadap perselingkuhan akan mudah terbuka.
*Rencanakan Kehamilan*
Kalau pasangan sudah menikah, otomatis orang-orang akan bertanya, "Sudah hamil belum?". Walaupun begitu, sebaiknya kita benar-benar mengerti makna kehadiran seorang anak. Bukan cuma 'pelengkap' kehidupan berumah tangga saja. Terutama mengerti segi finansial dan pembelajaran tentang anak. Harus dipikirkan, jika punya anak nanti apakah istri akan tetap bekerja? Kalau ya, anak akan tinggal dengan siapa? Kalau dengan suster, otomatis nilai-nilai dari suster-lah yang akan diturunkan ke anak. Tapi kalau istri yang mengasuh anak sehingga tidak bekerja, apakah secara finansial sudah mencukupi?
*Seimbangkan Perubahan Aktivitas*
Apakah kita sudah punya komunitas yang tepat, yang bisa mendukung pertumbuhan rohani kita dan anak-anak kita? Kadang ada komunitas yang sangat menekankan jemaat untuk terlibat dalam pelayanan. Kalau mengurangi pelayanan berarti sudah mundur. Ini akan membuat kita merasa bersalah. Karena itu aktivitas yang dijalani ketika masih single dan setelah berkeluarga harus ditimbang ulang supaya terjadi keseimbangan.
*Rumah dan Mertua*
Kita harus membina hubungan yang sehat dengan keluarga besar calon pasangan kita. Jika hubungan tidak harmonis, dikuatirkan nantinya akan terjadi intervensi dari mertua atau anggota keluarga lain. Tapi selain itu, tiap pasangan memang seharusnya tinggal sendiri (tidak tinggal di pondok mertua indah). Karena perbedaan-perbedaan yang ada dapat memicu perselisihan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tidak harus membeli rumah, minimal awalnya menyewa atau mengontrak.
Hidup bisa dibuat menjadi lebih seimbang, sederhana, dan berkualitas, jika kita mengetahui gambaran besar dari apa yang akan dihadapi dan fondasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan gambaran tersebut.(fis)
Sumber: getlife
EmoticonEmoticon