Kemurahan Hati Yang Sejati

Waktu sebuah angin topan menimpa sebuah kota kecil dekat-dekat sini, banyak keluarga mengalami musibah. Sesudah itu, semua surat kabar lokal memuat banyak berita kemanusiaan yang menarik dengan liputan keluarga-keluarga yang paling menderita.

Di edisi Minggu, sebuah gambar khusus begitu menyentuh hatiku. Ada seorang ibu muda berdiri di depan sebuah rumah-mobil yang hancur, raut wajahnya mencerminkan kesedihan yang begitu memelas. Seorang bocah laki-laki, sekitar 7 atau 8 tahun, berdiri di sampingnya, matanya memandang ke bawah. Seorang gadis kecil sedang memegang erat-erat gaun ibunya, matanya memandang ke lensa kamera, lebar terbelalak penuh kebingungan dan rasa takut. Berita yang menyertai gambar itu memberikan nomor-nomor ukuran pakaian tiap anggota keluarga itu. Perhatianku makin bertambah, aku mengamati ukuran-ukurannya hampir menyamai punya kami. Ini sebuah kesempatan bagus untuk mendidik anak-anakku membantu mereka-mereka yang kurang beruntung dari anak-anakku. Gambar keluarga muda itu aku tempelkan pada lemari es, kuterangkan bencana mereka itu pada putra-putra kembarku, Brad dan Brett, yang berumur 7 tahun, dan pada putriku Meghan yang baru berumur 3 tahun. Aku berkata, "Kita ini punya begini banyak, mereka itu sekarang hampir-hampir tak memiliki apapun. Ayo, mari kita membagikan milik kita dengan mereka." Aku bawa turun 3 kotak besar dari gudang bawah-atap yang lalu kutaruh di ruang keluarga. Meghan diam-diam mengamati kedua kakaknya dan aku yang sedang mengisi salah satu kotak itu dengan makanan kaleng dan lain-lainnya yang tahan lama, juga sabun dan kebutuhan kebersihan lainnya. Waktu aku memilah pakaian-pakaian, aku menyemangati putra-putraku untuk melihat-lihat mainan mereka dan menyumbangkan apa yang kiranya sudah kurang digemari. Si Meghan terus memandang, diam saja, saat mereka itu mulai menumpuk mainan maupun 'game' yang mau dibuang. "Nanti habis ini akan ibu bantu carikan sesuatu untuk gadis kecil itu," kataku.

Bocah-bocah laki-laki itu mengisikan mainan-mainan yang mereka pilih untuk disumbangkan ke dalam salah satu kotak sedangkan aku mengisi kotak ketiga dengan pakaian-pakaian. Meghan datang berjalan sambil mendekap erat-erat di dadanya, Lucy, boneka kainnya yang selain sudah luntur, kucel bocel dan lusuh kumal namun begitu ia sayangi. Ia berhenti sejenak di depan kotak yang memuat mainan-mainan itu, menempelkan wajahnya yang bulat kecil mungil pada muka lukisan Lucy yang datar ceper, memberinya sebuah ciuman selamat tinggal, lalu menaruhnya dengan lembut di atas lain-lainnya. "Lho, Sayang," aku berkata, "Lucy tidak perlu kau berikan. Itu kan kesayanganmu?" Meghan mengangguk dengan hikmat, matanya agak berkilau membasah dengan air mata yang tertahan. "Lucy membuatku begitu bahagia, Bu. Mungkin nanti dia juga akan membuat gadis kecil itu bahagia sekali." Aku, yang semula maunya mengajar, malah mendapat pelajaran. Anak-anak laki-laki itu telah melihat dan melongo, mulut terbuka, saat adik perempuannya meletakkan boneka kesayangannya ke dalam kotak. Tanpa sepatah kata, Brad berdiri dan menghilang ke kamarnya. Ia muncul kembali dan membawa salah satu mainan tokoh aksi-aksian yang paling ia kagumi. Terlihat ia agak ragu-ragu, maju-mundur sambil menggenggam mainan itu, lalu ia melirik Meghan dan kemudian diletakkannya di kotak, di samping Lucy. Sebuah senyum pelan-pelan melebar di muka Brett, lalu ia lompat berdiri, matanya bersinar-sinar saat ia lari pergi mengambil beberapa buah mobil-mobilan dari kumpulan Matchbox yang ia begitu sayangi. Begitu terkagum, aku menyadari bahwa merekapun juga menangkap isi makna sikap dan tindakan Meghan. Dengan menahan air mata, aku merangkul ketiga anak-anakku dalam pelukanku. Dengan rasa menelan yang berat, aku memandangi Meghan agak lama, termenung sebentar memikirkan bagaimana caranya aku bisa mengajar putra-putraku pelajaran yang Meghan baru ajarkan kepadaku, karena tiba-tiba saja aku sadar bahwa setiap orang bisa memberikan apa saja yang memang mau dibuang.

Kemurahan hati yang sejati ialah bila memberikan apa yang justru paling kau sayang dan hargai. Kebajikan murni sejati dan jujur ialah di saat gadis umur tiga tahun mengorbankan boneka tersayangnya, meskipun sudah kumal, kepada seorang gadis kecil lainnya yang tak ia kenal, dengan harapan bahwa itu akan membawa kadar kebahagiaan yang sama seperti yang ia terima. Dengan mengambil contoh dari si kecilku, aku mengambil kembali jaket coklatku berjumbai-jumbai yang lama dari kotak pakaian. Aku ganti itu dengan jaket baru berwarna hijau-pemburu yang baru kutemukan minggu lalu waktu ada obral. Aku harap wanita muda di gambar itu akan menyukainya sama seperti aku.

("True Generosity" by Elizabeth Cobb)
Previous
Next Post »