Apa yang tidak kamu pikirkan, itulah yang Tuhan berikan

Menjadi guru bukanlah cita-cita saya sejak kecil. Tidak! Bahkan saya tidak punya cita-cita apapun. Hanya ibulah yang mendorong kami anak-anaknya yang berjumlah 6 orang kelak harus dapat bekerja mencari nafkah sendiri, tidak bergantung pada suami. Ibuku seorang janda yang tidak mempunyai keahlian apapun, bahkan bekerja di sawah peninggalan ayah.

Kami hidup bergantung pada pensiun ayah yang kecil dan hasil sawah serta pekarangan. Itulah sebabnya Ibu menyuruh saya melanjutkan sekolah di SGA setelah saya selesai SMP karena biayanya lebih murah dari pada sekolah SAA dimana kakak saya bersekolah dan saya juga sudah diterima di sana.

Belajar 3 tahun di SGA saya jalani dengan hati yang senang dan nilai-nilai saya juga baik, tetapi saya tidak membayangkan akan menjadi guru. Pokoknya saya hanya senang bersekolah. sampai akhirnya saya lulus dan mendaftarkan ke perguruan tinggi di IKIP dan mengambil jurusan sejarah antropologi (SA) karena saya senang pelajaran sejarah. Masih teringat saat mendaftaran, ada mahasiswa petugas pendaftaran bertanya-tanya, ”Mbak, kok tidak masuk jurusan bahasa Inggris?”. Saya jawab, ”Tidak, saya tidak senang”. Padahal nilai bahasa Inggris saya 8, sedangkan nilai sejarah hanya 7.

Sampai akhirnya saya lulus tes dan diterima. Lalu masalahnya timbul, yaitu untuk bisa masuk harus membayar saat itu (tahun 1964) Rp 15.000,00. Itu jumlah yang banyak. Untuk biaya sekolah kakak, kami sudah menjual rumah, untuk biaya sekolah adik kami sudah menjual sebidang sawah dan untuk membelikan tanah yang ditempati kakak satunya lagi ayah sudah menjual sebidang sawah juga. Saya tidak tega bila keluarga mau menjual sawah lagi, di tambah dengan ingatan biaya hidup dan kuliah di kota, akhirnya saya memutuskan tidak melanjutkan studi di IKIP sejarah tersebut. Sungguh itu berat sekali rasanya. bertahun –tahun saya merasa sedih akan hal itu.lalu saya mendapat alternatif untuk melanjutkan sekolah di PGSLP dan mendapat ikatan dinas. Jadi biayanya ringan, bahkan saya dapat membantu meringankan beban ibu yang masih harus menghidupi 4 orang adik-adik saya.

Pertama-tama saya memilih jurusan bahasa Indonesia, karena saya suka sekali membaca buku-buku sastra. Waktu masih di SD dan SMP, waktu libur saya habiskan untuk mencari pinjaman buku-buku bacaan. Setelah 1 minggu di jurusan B Indonesia, saya merasa tidak betah suasananya. Kebetulan ada mahasiswa jurusan B Inggris yang juga tidak cocok di sana, jadilah kami bertukar jurusan. Walhasil, saya masuk jurusan B. Inggris dan belajar selama 2 tahun. Padahal dulu saya tidak mau masuk jurusan B. Inggris karena tidak senang. Tahun 1966 saya lulus dengan nilai yang baik dan kemudian diterima mengajar di sebuah SLTP negeri sebagai tenaga honorer. Saat itu transportasi belum semudah sekarang, saya harus naik kereta api atau bersepeda sejauh kurang lebih 20 km, lalu saya merasa capek dan kebetulan ada teman yang mengajar di sebuah SLTP Yayasan Kristen yang membutuhkan guru B. Inggris. Jadilah saya tinggalkan SLTP Negeri tadi yang sudah menyuruh saya mengumpulkan berkas – berkas pengangkatan pegawai negeri itu dan memulai mengajar di SLTP Yayasan Kristen di sebuah kota kecamatan sebagai guru tetap yayasan.

Bulan-bulan pertama mengajar, saya merasa sulit menyesuaikan diri dan keadaan keluarga kami yang tidak harmonis serta beban ekonomi yang berat membuat saya mengalami depresi dan tidak mempunyai keinginan apapun. Saya bahkan tidak masuk mengajar selama 3 bulan. Tetapi herannya, pimpinan sekolah dan pengurus yayasan tidak mengeluarkan saya, bahkan waktu saya masuk kembali gaji saya masih tetap diberikan. Saya berterima kasih sekali akan hal itu. Tetapi lagi-lagi saya mengalami depresi di tahun berikutnya. Kemudian setelah sembuh saya mengikuti katekisasi dan dibaptis pada 24 Desember 1968; itu terjadi 40 tahun yang lalu.

Kemudian kehidupan menjadi menyenangkan dan saya mengalami hari-hari mengajar di SLTP Kristen dengan penuh semangat. Sekolah mengalami kemajuan pesat dan menjadi sekolah favorit di kota kecamatan tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah mendirikan sekolah-sekolah negeri sehingga sekolah-sekolah swasta mengalami kemunduran. Disamping itu di dalam intern sekolah sendiri banyak terjadi intrik-intrik sehingga suasana belajar mengajar menjadi tidak menyenangkan. Suasana kekristenan tidak dapat dirasakan di sekolah. Dan saya berusaha mencari tempat bekerja yang lain. Tetapi semuanya sia-sia saja.

Saya sudah putus asa dan tidak mempunyai bayangan pindah kemana bila sekolah tutup. Tetapi lagi-lagi saya merasakan Tuhan bekerja untuk saya. SLTP Negeri di dekat meminta saya mengajar di sana dan itu adalah hal yang tidak menjadi aangan-angan saya karena SLTP tersebut menjadi saingan SLTP Kristen tempat saya mengajar. Jadilah saya pindah ke SLTP Negeri itu karena SLPT Kristen sudah tidak dapat dipertahankan lagi. “Apa yang tidak terpikirkan oleh saya, itulah yang Tuhan berikan”. Bertahun-tahun saya mencari tempat pindah mengajar tidak berhasil, tetapi Tuhan menyediakannya buat saya. Dan demikianlah saya menghabiskan hari-hari mengajar saya di SLTP Negeri tersebut dengan senang dan saya satu-satunya pengajar yang beragama Kristen di sekolah tersebut sehingga saya berpikir memang Tuhan menempatkan saya di sekolah tersebut dengan tujuan tertentu.

Kini saya sudah pensiun tetapi saya boleh merasa bersyukur karena banyak anak-anak SMP maupun SMA yang datang untuk les B. Inggris di rumah. Tuhan sendiri yang memilihkan apa yang harus saya pelajari sehingga semuanya itu berguna bagi kehidupan saya. Saya tidak perlu khawatir akan kehidupan saya, karena saya tahu Tuhan merencanakan yang terbaik untuk hidup saya.

Sukartinah Joko Susmono Hadi
GKJ Palihan
Kragon II, Palihan, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, 55654

Previous
Next Post »