Hak Yahudi Atas Tanah Israel

Banyak orang salah kaprah dgn mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dipaksa keluar dari tanah mereka oleh tentara Romawi setelah Kuil Kedua mereka di Yerusalem dihancurkan tahun 70 M. Lalu menurut pengertian sejarah salah kaprah ini; 1.800 tahun kemudian, tiba-tiba orang-orang Yahudi kembali ke Palestina dan menuntut kembali tanah airnya. Faktanya adalah: orang-orang Yahudi tetap mempertahankan tanah air mereka selama 3.700 tahun. Bahasa nasional dan kebudayaan khas Yahudi tetap bertahan di wilayah itu.

Yahudi menganggap Israel sebagai tanah airnya berdasarkan empat hal:
1. Tuhan sendiri yang menjanjikan tanah warisan ini kepada Abraham
2. Orang-orang Yahudi tetap hidup disitu dan merawat daerah itu
3. Pemberian kedaulatan penuh oleh PBB kepada Yahudi di Palestina
4. Penguasaan daerah berdasarkan perang bela diri.

Istilah “Palestina” dipercaya diambil dari kata Filistine, yakni merujuk pada orang-orang Aegea yang pada abad 12 SM tinggal di tepi Mediterania yang sekarang dikenal sebagai Israel dan Jalur Gaza. Abad 2M, setelah menghancurkan pemberontakan Yahudi, Pemerintah Romawi untuk pertama kalinya memberi nama Palestina pada tanah Yudea (bagian selatan Israel yang sekarang dikenal sebagai Tepi Barat) dalam usaha untuk menciutkan identitas Yahudi dengan tanah Israel. Kata Arab “Filastin” diambil dari nama Latin ini.

Sejak th 1000 SM, ke-12 suku Israel sudah membentuk kerajaan pertama di Palestina. Raja kedua, yakni David, menentukan Yerusalem sebagai ibu kota. Meskipun akhirnya Palestina pecah jadi dua kerajaan, kemerdekaan orang Yahudi tetap berlangsung sampai 212 tahun. Jangka waktu ini hampir sama dengan lamanya kemerdekaan Amerika Serikat sekarang.

Bahkan setelah dihancurkannya Kuil Kedua di Yerusalem dan saat awal pengasingan, orang-orang Yahudi tetap hidup di Palestina dan beranak-pinak. Abad ke 9M, terdapat masyarakat Yahudi dalam jumlah besar di Yerusalem dan Tiberias. Abad ke 11M, masyarakat Yahudi berkembang di Rafah, Gaza, Ashkelon, Jaffa dan Caesarea.

Abad ke 12, banyak orang Yahudi dibantai oleh para tentara Perang Salib, tapi mereka dapat berkembang lagi dalam dua abad selanjutnya dengan datangnya para rabi dan peziarah Yahudi dalam jumlah besar ke Yerusalem dan Galilea. Para rabi terkemuka membentuk masyarakat Yahudi di Safed, Yerusalem dan di daerah lain selama 300 tahun berikutnya. Awal abad ke 19 sebelum kelahiran gerakan Zionist modern, lebih dari 10.000 orang Yahudi telah hidup di daerah yang sekarang dikenal sebagai Israel.

Ketika orang-orang Yahudi mulai berdatangan ke Palestina dalam jumlah besar di tahun 1882, kurang dari 250.000 Arab hidup di sana, dan kebanyakan dari mereka datang dalam dekade akhir. Palestina tidak pernah jadi suatu negara Arab yang berdaulat, meskipun perlahan-lahan bahasa Arab jadi bahasa yang paling banyak digunakan setelah penyerangan Muslim di abad ke tujuh. Tidak pernah ada negara Arab atau Palestina yang berdaulat di Palestina.

Ahli sejarah Arab terkemuka AS, Prof. Phillip Hitti dari Universitas Princeton, membuat pengakuan di depan Anglo-American Committee di tahun 1946, dengan mengatakan: “Tidak pernah ada “Palestina” dalam sejarah, sama sekali tidak.” Memang, Palestina juga tidak pernah ditulis dengan tegas dalam Qur’an, yang disebut adalah “tanah suci” (al-Arad al-Muqaddash).

Sebelum adanya pembagian daerah, orang-orang Arab Palestina tidak melihat diri mereka punya identitas yang terpisah. Tapi ketika First Congress of Muslim-Christian Associations bertemu di Yerusalem di bulan Februari 1919 untuk memilih wakil-orang Palestina untuk Konferensi Perdamaian Paris, pernyataan berikut diumumkan: Kami merasa Palestina adalah bagian dari Syria Arab, karena bagian ini tidak pernah terpisah dari Syria dalam waktu kapanpun. Kami berhubungan dengan Syria secara kenegaraan, agama, bahasa, ekonomi dan ikatan daerah.

Tahun 1937, pemimpin Arab setempat, Auni Bey Abdul-Hadi, menyatakan Peel Commission yang pada prinsipnya menuntut bagian Palestina: “Tidak ada negara (Palestina)! Kata ‘Palestina’ itu diciptakan oleh Zionist! Tidak ada kata Palestina dalam Alkitab. Tanah air kami sejak berabad-abad merupakan bagian dari Syria.”

Wakil Arab Higher Committee untuk PBB mengajukan pernyataan di General Assembly di bulan May 1947 yang menyatakan bahwa “Palestina merupakan bagian dari Propinsi Syria” dan karenanya,” secara politis, orang-orang Arab Palestina tidak terpisah dari Syria dan tidak bisa membentuk kesatuan politis yang terpisah dari Syria.”

Beberapa tahun kemudian, Ahmed Shuqeiri, yang lalu jadi ketua PLO, mengatakan pada Security Council: “Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Palestina adalah bagian selatan Syria.”

Nasionalisme Arab Palestina kebanyakan muncul setelah Perang Dunia I. Tapi ini tidak jadi gerakan politik yang bermakna sampai terjadi Perang Enam Hari di tahun 1967 dan Israel menguasai Tepi Barat.

“Surat Tanda Lahir” Israel secara internasional disahkan oleh janji Tuhan dalam Alkitab; masyarakat Yahudi yang tinggal terus menerus di Israel sejak jaman Yoshua sampai saat ini; Deklarasi Balfour di tahun 1817; Mandat Liga Bangsa-Bangsa, yang berhubungan dengan Deklarasi Balfour; partition resolution PBB tahun1947; diterimanya Israel di PBB tahun 1949; pengakuan atas negara Israel oleh sebagian besar dunia; dan yang terpenting dari semuanya, masyarakat yang diciptakan oleh orang-orang Israel selama berpuluh-puluh tahun berkembang menjadi suatu negara yang dinamis.

---------------------

The Jewish Claim To The Land Of Israel

A common misperception is that the Jews were forced into the diaspora by the Romans after the destruction of the Second Temple in Jerusalem in the year 70 A.D. and then, 1,800 years later, suddenly returned to Palestine demanding their country back. In reality, the Jewish people have maintained ties to their historic homeland for more than 3,700 years. A national language and a distinct civilization have been maintained.

The Jewish people base their claim to the land of Israel on at least four premises: 1) God promised the land to the patriarch Abraham; 2) the Jewish people settled and developed the land; 3) the international community granted political sovereignty in Palestine to the Jewish people and 4) the territory was captured in defensive wars.

The term "Palestine" is believed to be derived from the Philistines, an Aegean people who, in the 12th Century B.C., settled along the Mediterranean coastal plain of what is now Israel and the Gaza Strip. In the second century A.D., after crushing the last Jewish revolt, the Romans first applied the name Palaestina to Judea (the southern portion of what is now called the West Bank) in an attempt to minimize Jewish identification with the land of Israel. The Arabic word "Filastin" is derived from this Latin name.

The Twelve Tribes of Israel formed the first constitutional monarchy in Palestine about 1000 B.C. The second king, David, first made Jerusalem the nation's capital. Although eventually Palestine was split into two separate kingdoms, Jewish independence there lasted for 212 years. This is almost as long as Americans have enjoyed independence in what has become known as the United States.

Even after the destruction of the Second Temple in Jerusalem and the beginning of the exile, Jewish life in Palestine continued and often flourished. Large communities were reestablished in Jerusalem and Tiberias by the ninth century. In the 11th century, Jewish communities grew in Rafah, Gaza, Ashkelon, Jaffa and Caesarea.

Many Jews were massacred by the Crusaders during the 12th century, but the community rebounded in the next two centuries as large numbers of rabbis and Jewish pilgrims immigrated to Jerusalem and the Galilee. Prominent rabbis established communities in Safed, Jerusalem and elsewhere during the next 300 years. By the early 19th century-years before the birth of the modern Zionist movement-more than 10,000 Jews lived throughout what is today Israel.

When Jews began to immigrate to Palestine in large numbers in 1882, fewer than 250,000 Arabs lived there, and the majority of them had arrived in recent decades. Palestine was never an exclusively Arab country, although Arabic gradually became the language of most the population after the Muslim invasions of the seventh century. No independent Arab or Palestinian state ever existed in Palestine. When the distinguished Arab-American historian, Princeton University Prof. Philip Hitti, testified against partition before the Anglo-American Committee in 1946, he said: "There is no such thing as 'Palestine' in history, absolutely not." In fact, Palestine is never explicitly mentioned in the Koran, rather it is called "the holy land" (al-Arad al-Muqaddash).

Prior to partition, Palestinian Arabs did not view themselves as having a separate identity. When the First Congress of Muslim-Christian Associations met in Jerusalem in February 1919 to choose Palestinian representatives for the Paris Peace Conference, the following resolution was adopted:

We consider Palestine as part of Arab Syria, as it has never been separated from it at any time. We are connected with it by national, religious, linguistic, natural, economic and geographical bonds.

In 1937, a local Arab leader, Auni Bey Abdul-Hadi, told the Peel Commission, which ultimately suggested the partition of Palestine: "There is no such country [as Palestine]! 'Palestine' is a term the Zionists invented! There is no Palestine in the Bible. Our country was for centuries part of Syria."

The representative of the Arab Higher Committee to the United Nations submitted a statement to the General Assembly in May 1947 that said "Palestine was part of the Province of Syria" and that, "politically, the Arabs of Palestine were not independent in the sense of forming a separate political entity." A few years later, Ahmed Shuqeiri, later the chairman of the PLO, told the Security Council: "It is common knowledge that Palestine is nothing but southern Syria."

Palestinian Arab nationalism is largely a post-World War I phenomenon that did not become a significant political movement until after the 1967 Six-Day War and Israel's capture of the West Bank.

Israel's international "birth certificate" was validated by the promise of the Bible; uninterrupted Jewish settlement from the time of Joshua onward; the Balfour Declaration of 1917; the League of Nations Mandate, which incorporated the Balfour Declaration; the United Nations partition resolution of 1947; Israel's admission to the UN in 1949; the recognition of Israel by most other states; and, most of all, the society created by Israel's people in decades of thriving, dynamic national existence.

Sumber : jewishvirtuallibrary.org
Previous
Next Post »