Seorang prajurit muda tergeletak tak berdaya di barak perawatan darurat, di antara puluhan pasien yang terluka dalam perang saudara Amerika Utara dan Selatan. Pria muda itu merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Dalam ketakutannya, ia merindukan ibu, istri, serta anaknya.
“Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untuk meringankan penderitaanmu, Nak?” Tiba-tiba prajurit itu mendengar sapaan lembut seorang pria tengah baya. Namun, lukanya yang parah membuat ia tak mampu memastikan siapa pria baik hati itu.
“Sudikah Bapak menuliskan sebuah surat untuk ibuku?” tanya si prajurit kepada pria yang mendekatinya. Pria itu pun segera mengambil kertas dan pena untuk menuliskan surat bagi si prajurit. Terbata-bata si prajurit mendiktekan suratnya, “Ibu tersayang, anakmu terluka parah dalam perang. Mungkin tidak akan pernah sembuh. Jika aku pergi, janganlah terlalu merasa kehilangan. Peluk ciumku untuk Mary dan si kecil, John.”
Si prajurit terkulai dan tidak sanggup meneruskan suratnya. Maka pria yang menuliskan surat untuknya itu segera menandatangani surat pendek itu dan menambahkan, “Ditulis oleh Abraham Lincoln untuk anak Anda,” kemudian untuk terakhir kalinya, ia menunjukkan surat itu kepada si prajurit. Si prajurit terkejut menyadari bahwa pria baik hati itu tidak lain adalah Presiden Abraham Lincoln. Lantas sekali lagi ia mengimbau, “Tuan Presiden, sudikah Tuan menggenggam tanganku?” Dan, Presiden Lincoln pun menggenggam tangan prajurit muda itu sampai ia menutup matanya.
Lincoln tidak sempat menanyakan nama si prajurit. Secara pribadi ia tidak mengenal pria muda itu, tapi ia menaruh peduli pada penderitaannya. Genggaman tangan Lincoln adalah kepedulian yang tak ternilai bagi si prajurit, yang menemaninya melewati derita dan ketakutan menghadapi kematian. Sebenarnya yang dilakukan Lincoln tidaklah terlalu banyak. Namun, bahkan untuk yang sedikit itu pun, sering kali tidak mudah bagi kita.
EmoticonEmoticon