Golgota : Relaitvitas, Kompromi & Dusta

Tuhan Yesus memang penuh kasih. Kasih-Nya luar biasa, dengan penuh kesabaran Ia membiarkan kisah kehidupan-Nya dijadikan komoditas yang mampu menghasilkan perak lebih dari tiga puluh keping. Sekarang makin banyak Yudas yang “menjual” Yesus. Mulai dari si novelis Dan Brown dengan novelnya Da Vinci Code hingga sang editor modern Rodolph Kasser yang sukses mengeruk perak dari “injil” Yudas, termasuk James M. Robinson yang bukunya The Secrets of Judas ikut laris terjual. Setidaknya Tuhan Yesus “memberkati” mereka melalui pelanggan baca, bukan?!? “Puji” Tuhan! Tapi sayangnya perak mereka tidak pernah disetor ke bait Tuhan. Tapi kalau toch disetor, Gereja pasti bingung menerimanya antara mau dan “bau” yang tak sedap.

Banyak “injil” baru, yang mulai published, ada injil Thomas, injil Maria Magdalena, injil Filipus, injil Orang Mesir bahkan injil kebenaran yang kemudian terkenal sebagai “kitab Jung” karena dipopulerkan oleh Carl Jung, psikolog terkenal itu. Yudas anak Simon asal Iskariot mendadak kembali populer, semenjak “injil Yudas” bisa dibeli. Yesus digugat dan Yudas dibela. Yesus “bersalah dan” Yudas “benar.” Yesus didakwa telah “memanfaatkan” kebaikan Yudas. Yesus didakwa mengorbankan Yudas demi obsesi-Nya. Yudas memang pahlawan dan Yesus?? Hebat, dakwaan yang spektakuler! Menggemparkan dunia. Getsemani dan Golgota rupanya sudah diulang kembali. Dunia memang menolak Kristus (Yoh.1:10).

Relativitas vs Otoritas
Pemutarbalikkan fakta adalah sifat Iblis, sejak kasus Eden, yang meraih puncaknya pada peristiwa dakwaan di Sanhedrin malam Jumat itu. Saksi palsu didatangkan, yang dengan gagah berani menyaksikan kepalsuan untuk orang yang pernah menyembuhkan, membangkitkan, memberikan roti gratis, mengusir setan bagi saudara-saudaranya bahkan mungkin juga dirinya. Aparat keamanan dan pejabat negeri terima suap dengan tanpa rasa malu. Kontrasnya, semua murid ketakutan dan lari menyaksikan Kristus dilucuti, dipecuti, diludahi dan dipisui.

Menyimak kebohongan dan kata kotor tanpa berbuat apa-apa menjadi jalan keluar yang lepas konflik. Bungkam terhadap kesalahan adalah jalan bijak nan aman. Play save-lah, jangan terlalu lurus nanti sepi teman. Kurang wajar akan menjadi status baru kalau terus mengikuti kebenaran. Inilah pelangi relativitas, TST, tahu sama tahu.

Tapi, sadarkah bahwa membiarkan kadangkala bisa disamakan sebagai tindakan pasif. Membiarkan rekan sekantor membuat nota palsu sama dengan ikut menandatangani secara diam-diam. Membiarkan teman segereja tidak bertanggung-jawab sama dengan merusak apa yang sudah ditata. Tapi, ada juga membiarkan yang aktif, namanya memanfaatkan. Membiarkan teman korupsi, supaya suatu kali kelak kalau kepepet … ya ikutlah. Membiarkan saudaranya berselingkuh, karena ada “kenikmatan” tersendiri dari relasi gelapnya entah ikut nggrayangi entah ikut kecipratan uang diam, hitung-hitung nambah rejeki.

Kristus adalah kebenaran. Sehingga di dalam Kristus berarti berada di dalam kebenaran. Ia mutlak tak bersalah, sehingga segala keputusan-Nya mutlak benar. Itulah sifat otoritas tertinggi. Ia, yang “Ada” (I am that I am, Yahweh), membuat ada dengan mutlak benar. Sehingga setiap keberadaan dibuat-Nya untuk benar. Tapi, kebenaran telah digeser oleh relativitas.

Iblis selalu menginspirasikan anti kebenaran mutlak dengan membuat kebenarannya sendiri, yaitu relativitas. Ia suka membolak-balik hukum. Tidak ada kepastian adalah sifatnya. Tidak jelas, warna kesukaannya. Itulah sebabnya, penyaliban Tuhan Yesus tidak jelas apa kesalahan-Nya selain karena alasan kedengkian para imam kepala (Mat.27:18; Mrk.15:10). Orang bisa lebih memilih Barabas, yang sudah terkenal kejahatannya, ketimbang Yesus yang terkenal belas kasihan dan kebaikannya. Cara menggeser kebenaran, dilakukan Iblis dengan cerdik. Pelan tapi pasti, dan malah menumbuhkan rasa simpati. Hidup yang tertib, dalam kebenaran, dianggap kaku dan kurang menyatu dengan lingkungan. Toleransi mengalahkan esensi. Hukum relativitas mengatasi otoritas.

Akibatnya, penghakiman terhadap penciptanya terjadi berulang lagi. Rasa bersalah telah pergi diganti dengan rasa benar yang mengandung relativitas tinggi. Kecerobohan dan keserakahan diabaikan, dilimpahkan sebagai kesalahan sang pencipta. Lumpur yang didesain untuk menopang daratan dikuras gara-gara bor kerakusan “lupa” dibungkus casing yang tepat, sehingga kerupuk udang sulit didapatkan lagi; yang salah ya Tuhan karena kenapa menciptakan lumpur. Unggas yang namanya burung, dibuat untuk menunjukkan pemeliharaan Tuhan baik yang seduit maupun yang kalau dikumpulkan bisa menambah income para peternak satu Triliun Rupiah, telah pergi dalam sekejap oleh karena instruksi pimpinan tanpa kesan ketajaman para ilmuwan; yang salah ya Tuhan kenapa menciptakan burung. Kereta api yang mustinya dimuseumkan di Ambarawa, menemani rekan-rekan seniornya dari Belanda dan Jerman, eh masih saja dipaksa menarik, ya jebol; yang salah ya keretanya eh salah … relnya … eh salah … masinisnya … eh salah … tukang jaga palang … eh salah … ya Tuhan kenapa membuat kereta …?

Kompromi dan Dusta
Membiarkan Iblis merasuk berarti kompromi dengan roh jahat. Pada saat Tuhan Yesus memanggil para rasul untuk diutus, kuasa untuk mengusir roh jahat telah diberikan (Mat 10:1,8). Jadi khan aneh kalau murid sekaliber Yudas bisa kerasukan setan (Yoh 13:27; Luk 22:3) selain membiarkan, entah aktif atau pasif, Iblis membisikkan rencana jahat dalam hatinya (Yoh 13:2).

Sejak awal Tuhan Yesus mengetahui bakal ada satu yang menjadi Iblis (Yoh 6:70-71). Berulang kali Tuhan Yesus mengingatkannya. Paling tidak pada waktu kebiasaanya mencuri uang diperingatkan melalui peristiwa Yesus diurapi dengan narwastu 300 Dinar (Yoh 12:1-8), bukannya menyesal malahan merencana menyerahkan Yesus (Mat 26:14-16) dan ironisnya hanya dengan 30 keping perak atau setara dengan 120 Dinar! Maaf ya, mental murahan dan munafik!

Kemudian pada waktu perjamuan makan malam terakhir. Di depan ke-12 murid-Nya, Yesus mengatakan bahwa ada seorang murid yang akan menyerahkan Dia (Mat 26:21), yang ditandai lebih dulu dengan mencelupkan tangannya bersama Dia (Mat 26:23). Lucunya justru Yudas bertanya, “Bukan aku, ya Rabi?” (Mat 26:25), padahal ia sudah berencana menyerahkan-Nya sebelumnya. Dan Yesus menjawab “engkau telah mengatakannya” sambil memberikan roti yang telah dicelupkan. Seketika setelah itu, Iblis merasuki Yudas. Tuhan Yesus masih sekali lagi memperingatkan, “apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera” (Yoh 13:27). Dan, masih sekali lagi, di taman Getsemani. Tuhan menanyakan soal makna ciumannya.

Seseorang yang kompromi dengan roh jahat sampai akhir akan berakhir dengan tragis. Kompromi, yang mengalahkan kebenaran, membuat peringatan Tuhan tidak berarti. Sejak semula Iblis bertujuan membunuh manusia (Yoh 8:44), dengan cara menjebak ke dalam dusta. Yudas sudah menuainya, dengan mengakhiri hidupnya dalam tipuan besar hingga Tuhan Yesus mengatakan celakalah orang yang menyerahkan-Nya dan lebih baik untuk tidak dilahirkan. Berbagai dusta diproduksi setiap hari. Hitung saja berapa kali jawaban, “saya tidak tahu” diucapkan demi amannya.

Akhirnya, matikanlah dalam dirimu, segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (Kol 3:5-6). SELAMAT PASKAH!

Pdt. Budimoeljono Reksosoesilo

Previous
Next Post »