Pernikahan Dalam Suasana Gempa Bumi Bag.2

(Kisah nyata campur tangan Tuhan Yesus terhadap sepasang calon mempelai) - Bagian II

Setelah gempa bumi terjadi di Jogja dan sekitarnya, seluruh jaringan komunikasi mati total. Handphone tidak berfungsi sama sekali. Aku yang baru saja sembuh tidak dapat menghubungi Event Organizer (EO)ku. Kami tidak tahu apakah besok pesta pernikahan yang “once in a life time” dapat tetap berlangsung atau tidak, atau menjadi seperti apa.

Sabtu siang, beberapa saudara ada yang berhasil menelpon, itupun hanya menanyakan : apakah pemberkatan dan resepsi pernikahan kami akan tetap berjalan. Kami hanya bisa berucap, “Ya, ya!” dengan iman.

Sabtu malam itu tanggal 27 Mei 2006, sesuai jadwal Pak Jeffry S. Tjandra datang dari Jakarta untuk mengisi acara dan sekaligus menjadi MC di acara pernikahan kami. Ternyata bandara Adi Sucipto, Jogja, ditutup. Semua penerbangan ke Jogja dibatalkan, karena bandaranya terkena gempa, tidak dapat dipakai untuk mendarat ataupun lepas landas. Sebagai gantinya, semua penerbangan ke Jogja dialihkan ke Solo dan Semarang. Sebagian tamu-tamu luar kota yang akan datang dan sudah membeli tiket terpaksa dibatalkan.

Namun Pak Jeffry S. Tjandra tetap konsisten. Beliau tetap datang walaupun harus lewat Semarang dan kemudian naik bis ke Jogja. Pada Sabtu malam itu kota Jogja gelap gulita karena semua jaringan listrik dipadamkan PLN.

Ya, Tuhan! Malam itu aku dan (calon) suamiku hanya berlutut, menangis dan berdoa. Kami hanya pasrah. Tuhan, kami benar-benar tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami hanya mau ikut jalan Tuhan. Bila Tuhan tidak mengizinkan kami menikah besok, Minggu 28 Mei 2006, kami hanya bisa pasrah dan ikut semua rencana-Nya. Tetapi kami percaya Tuhan pasti memberi yang terindah untuk anak-anak yang mengasihi-Nya.

Sabtu malam jam 11 akhirnya kami mengadakan meeting dengan EO untuk membahas dan merevisi ulang semua rencana pernikahan kami untuk keesokannya. Ketika meeting itu saya hanya bisa menangis dan menangis. Entahlah apa yang akan terjadi esok hari.

Meeting selesai pada pukul 3 dini hari, karena begitu banyak hal yang harus kami bicarakan. Jam 4 subuh aku sudah harus pergi ke Salon. Bisa dikatakan beberapa minggu ini kami kurang tidur terus karena harus mengurus pernikahan. Padahal kalau mengingat kondisiku yang baru sembuh dari sakit, seharusnya aku harus banyak istirahat. Tapi kenyataannya kondisinya tidak memungkinkan, mau bagaimana lagi?

Jam 4.30 subuh aku datang ke Salon dengan mata sembab. Pada saat di-make-up pun aku tak kuasa menahan air mataku yang jatuh terus menerus mengalir membasahi pipiku. Dalam hati aku hanya berharap satu hal: jika pemberkatan di gereja dan Catatan Sipil bisa berjalan lancar saja, aku sudah sangat senang karena aku pikir, itulah moment sakralku saat aku diberkati oleh Tuhan dalam pernikahan kudus ini.

Puji Tuhan, semua pendukung acara pernikahanku bisa melaksanakan kewajibannya dan akhirnya kami bisa melewati pemberkatan di Gereja dan acara di Catatan Sipil. Oh, saat itu aku sudah sangat lega dan bersyukur kepada Tuhan. Kami sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi pada saat resepsi sore harinya karena Jogjakarta masih dalam kondisi pasca gempa yang mencekam, dimana aliran listrik dan air masih belum berfungsi.

Pada saat acara “Pai Ciu”(salah satu rangkaian acara dalam adat Tionghoa), kami sangat bergembira karena pada saat dikumpulkan ternyata cukup banyak saudara-saudara kami yang datang meskipun di tengah-tengan suasana gempa. Kami sangat bersyukur karena mereka masih tetap mau datang. Setelah Pai Ciu selesai, mereka diarahkan masuk ke dalam Ballroom sambil menunggu acara dimulai. Saat itu kami bertanya kepada EO, kira-kira berapa meja yang telah terisi? Oh, Tuhan! Ternyata baru 10 % dari total meja undangan.

Oh, Tuhan! Di dalam pikiran kami sudah terbayang meja-meja bakal kosong. Tetapi kami sangat memahami mereka yang tak dapat datang, karena mereka mungkin masih trauma akibat gempa kemarin. Mungkin diantara mereka ada yang sudah pergi mengungsi keluar dari Jogja.

Kami kembali pasrah. Namun di dalam hati ini kami sudah sangat sangat bersyukur: di tengah bencana melanda Jogja sekalipun acara pemberkatan pernikahan kami di Gereja dan di Catatan Sipil boleh berjalan dengan lancar.

Satu jam kemudian kami ditelpon oleh pihak Event Organizer (EO) agar mempelai siap-siap untuk turun dari kamar hotel dan memasuki Ballroom. Dengan perasaan berdebar-debar kami bertanya kepada EO berapa jumlah meja undangan yang sudah terisi? Oh, puji Tuhan, 90% terisi, suatu jumlah yang sangat tidak kami bayangkan sebelumnya.

Bahkan Tuhan masih menyatakan mukjizat-Nya. Sepuluh menit setelah mempelai memasuki Ballroom, pihak Hotel harus menyediakan dua meja tambahan. Jumlah undangan yang fantastis dan benar-benar di luar perkiraan kami! Jika kita mau berserah, berharap dan percaya kepada-Nya, mukjizat itu nyata!

Keesokan hari setelah acara pernikahan, kami dikabari bahwa visa tour ke Eropa sudah keluar, padahal sebelumnya tour ini sempat di-cancel karena jumlah peserta kurang. Kami harus berangkat besok lusa. Di saat itu kami berdoa, ”Tuhan kalau memang kami boleh berangkat bulan madu, biarlah aku diberi kesehatan selama tour ini.”

Kami menikmati perjalanan bulan madu ke Eropa dan kami pulang dari Eropa dengan selamat. Bahkan Tuhan menyatakan mukjizat-Nya sekali lagi. Setelah pulang dari Eropa aku baru menyadari bahwa aku telat mens. Ya, ternyata aku positif hamil. Oh, betapa bahagianya!

Terima kasih, Tuhan! Terima kasih untuk semua hal yang boleh kami jalani bersama Engkau! Kami percaya kesaksian ini dapat menguatkan semua orang yang membacanya, untuk kemuliaan Tuhan. (Selesai)

* Pernikahan Dalam Suasana Gempa Bumi Bag.1

Previous
Next Post »