Kristen Garam & Kristen Semut

Bagi orang Kristen, lambang identitas imannya yang paling utama, tak pelak lagi, adalah salib. Memang ada juga sih lambang-lambang kekristenan yang lain, tapi dibandingkan dengan salib, oh jauh! Sebut saja misalnya ikan dan roti. Atau dua huruf Yunani: Alpha dan Omega, serta Chi dan Rho.

Toh menurut Yesus, lambang orang Kristen yang paling sentral mestinya adalah garam. “Kamu adalah garam dunia,” begitu Ia bersabda.

Inilah raison d’etre atau alasan pokok keberadaan orang Kristen di dunia ini. Seperti alasan pokok adanya sebuah rumah sakit adalah untuk melayani pasien, dan alasan pokok adanya sebuah sekolah adalah untuk belajar-mengajar, alasan pokok keberadaan orang Kristen di dunia ini adalah untuk menjadi “garam dunia”.

Anda gagal menjadi “garam dunia”, otomatis gagal pula Anda sebagai pengikut Kristus. Lebih mengerikan lagi, kata Yesus, akhir nasib Anda tidak akan lebih baik dari pada seonggok sampah!. “Jika garam itu menjadi tawar,” kata-Nya, “dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya, selain dibuang dan diinjak orang!”

“Kamu adalah garam dunia.” Mendengar ini, saya maklum, bila Anda merasa sedikit kecewa. Paling sedikit, tidak berbunga-bunga. Sebuah lambang seharusnya diharapkan mampu membangkitkan rasa bangga pada yang memakainya, dan sekaligus perasaan respek pada yang melihatnya.

Oleh alasan ini, selalu dipilih kiasan-kiasan yang memberi kesan megah, gagah, agung, dan wah. Misalnya: garuda, rajawali, singa, bunga, beruang, naga. Tidak heran, di Bekasi baru-baru ini terjadi kontroversi hebat, ketika ada gagasan menjadikan ikan lele sebagai lambang kota. Lebih tak terbayangkan lagi, bila yang diusulkan adalah lipan, cacing atau kecoa. Atau, garam!

Garam tidak memenuhi kriteria yang lazim itu, apalagi bagi benak orang-orang moderen.
Apanya dari garam yang megah, yang gagah, yang indah, dan mulia? Di pedalaman Papua, konon, garam memang aduhai berharganya. Tapi di Jakarta?

Jadi, mengapa Yesus memilihnya? Mengapa Yesus memilih sebuah kiasan yang tidak membanggakan (garam), untuk melukiskan sesuatu yang amat membanggakan (menjadi pengikut Kristus)?

Jawabnya adalah karena Ia hendak dengan menekankan betapa kebanggaan seorang pengikut Kristus itu tidak terletak pada hal-hal yang eksternal. Tidak terutama ditentukan oleh hal-hal yang kasat mata. Kebanggaan duniawi memang bertumpu pada faktor-faktor eksternal. Memiliki menara yang “tertinggi”, atau umat yang “terbanyak”, serta “ter-ter” lain, sejenis yang tercatat di museum rekornya Jaya Suprana. Kemegahan eksternal memang mempesona, namun juga sering memperdaya.

Kiasan “garam” diharapkan mampu memelihara “kesadaran fungsional”, sekali pun mungkin tidak bisa memberikan “kebanggaan eksternal”. Di mana bedanya?

Kebanggaan karena berhasil membuat lumpia Semarang yang terpanjang, atau mpek-mpek Palembang yang terbesar di dunia, adalah kebanggaan eksternal. Sementara itu, kebanggaan karena berhasil membuat kue singkong yang termurah, tersehat, dan terlezat sedunia , adalah kebanggaan fungsional.

Kebanggaan karena berhasil meng”kristen”kan sebanyak mungkin orang adalah kebanggaan eksternal. Akan tetapi, kebanggaan karena berhasil membuat orang banyak se”kristen” mungkin adalah kebanggaan fungsional.

“Kebanggaan garam” adalah kebanggaan fungsional. Parameternya adalah apakah produk akhirnya berfungsi maksimal bagi sebanyak mungkin orang? Atau cuma hebat dan cocok untuk pamer serta “jago-jagoan” doang? Jelas sekali yang Yesus kehendaki ialah, agar kita menjadi “Kristen kualitas” – bukan “kuantitas”.

Untuk menjadi “Kristen kuantitas”, jalannya relatif lebih mudah. Anda cukup membangun gedung atau mengumpulkan massa. Anda tetapkan sendiri. Namun, untuk menjadi “Kristen kualitas”, sungguh berbeda.

Di sini, seperti kata Petrus, kemurnian Anda hanya bisa diperoleh dan mesti “diuji melalui api”. Lagi pula yang menentukan kualitas Anda adalah orang lain, dunia ini. Dan berdasarkan kriteria mereka. Artinya, menurut mereka, cukup “asin”kah Anda?

Sebab itu, bila orang kristen mencari kebanggaan pada yang kuantitatif dan fisikal semata, ia sungguh salah alamat! Anda bisa menjadi “garam dunia”, tanpa semua yang gemerlapan. Ibu Teresa, misalnya. Sebaliknya, Anda bisa mempunyai semua yang gemerlapan, tanpa pernah menjadi “garam dunia.” Paus-Paus abad pertengahan, misalnya.

Bahkan menjadi “garam” pun belum jaminan. Sebab bukan “garam “-nya yang penting, tapi “asin”nya! Buat apa jadi garam kalau tidak asin? Apa gunanya jadi “patung garam” seperti istri Lot? Atau jadi “garam salon” yang tersimpan rapi di almari? Kata Yesus, “Tidak ada gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang.”

Siapakah yang dimaksud oleh Yesus “garam yang tidak asin” itu? Tidak lain adalah orang Kristen yang cuma ada –mungkin besar, mungkin berkembang pesat- tapi tidak fungsional. Maksud saya, dunia tidak merasakan dampak dan makna positif apa-apa dari kehadirannya. Karena itu juga tidak akan berduka, sekiranya gereja tiba-tiba tiada. Ada atau tidak ada gereja, tidak berarti apa-apa.

Ingatlah bahwa Yesus tidak cuma mengatakan, “Kamu adalah garam”, tapi “Kamu adalah garam dunia.” Garam bagi dunia! Gereja yang hidup cuma buat dirinya sendiri, barangkali memang “garam”. Tapi garam yang tawar. Tidak berguna.

“Kamu adalah garam dunia.” Kiasan ini tidak terlalu ber “gengsi.” Tidak salah, namun tidak pula benar seluruhnya. Sebab pada waktu Yesus mengatakannya, Ia justru bermaksud mengangkat hati murid-murid-Nya. Yesus bermaksud meyakinkan mereka, betapa di balik kesederhanaan mereka, mereka tidak perlu merasa rendah diri. Pakaian mereka sederhana. Status sosial mereka sederhana. Latar belakang pendidikan mereka sederhana. Tapi mereka adalah “garam dunia”!

Artinya, betapa dunia membutuhkan mereka! Betapa hidup tidak lengkap, bahkan tak terbayangkan, tanpa kehadiran mereka! Bagaikan soto membutuhkan garam! Tambahan pula, pada zaman Yesus, “garam” punya nilai simbolis yang tinggi sekali di pandangan masyarakat!. Sampai-sampai orang Yunani menyebutnya “theion,” atau “yang ilahi”. Karena berasal dari air laut dan sinar matahari –dua benda yang dipercaya sebagai benda-benda yang paling murni di alam ini- garam juga dihubungkan dengan kemurnian. Garam melambangkan sesuatu yang tidak tercampur maupun tercemar.

Orang Kristen hidup di tengah-tengah dunia yang standar kualitasnya terus menurun dengan ajeg. Fasilitas membaik, tapi kualitas menurun. Ini berlaku untuk semua bidang kehidupan. Tapi Yesus mengamanatkan, orang Kristen mesti mempertahankan standar kemurniannya! Jangan ikut-ikutan merosot atau melorot! Jadilah bak oasis di padang gurun! Jadilah “komunitas percontohan,” di tengah-tengah dunia yang dahaga akan keteladanan! Jangan tercampur dan tercemar!

Lebih dari sekadar mempertahankan kemurnian, orang Kristen juga harus berfungsi sebagai pencegah kebusukan. Proses pembusukan dunia ini memang tak terhindarkan. Jalannya sudah harus begitu. Bahwa segala sesuatu akan berujung pada katastrofi total. Namun, prosesnya dapat diperlambat agar pintu tobat lebih lama terbuka.

Salah satu fungsi “garam” yang terpenting, di samping menjadi penyedap, adalah menjadi pengawet. Sebab itu, tidak ada ironi yang lebih besar daripada ketika orang-orang Kristen juga ikut-ikutan membusuk, bahkan ikut-ikutan membusukkan!

Apakah Anda mencium bau busuk itu? Saya tidak cuma menciumnya, tapi juga melihatnya dengan jelas. Di dalam maupun di luar gereja! Ini harus diamputasi cepat-cepat, agar pembusukan tidak menjalar ke seluruh tubuh.

“Kamu adalah garam dunia.” Bagi Yesus, status yang tinggi tidak ditentukan oleh penampakannya, melainkan oleh kemanfaatannya. Ini dilukiskan dengan indah sekali oleh “garam”, Untuk mengasinkan sesuatu, tidak diperlukan garam yang besar dan banyak. Sebab itu, kecil atau sedikitnya kita tidak dapat dijadikan dalih untuk ketidakmampuan kita berfungsi. Lihatlah garam!

Namun, ada persoalan serius, yaitu bahwa untuk mengasihi, garam yang sedikit itu harus melarut. Padahal, kecenderungan insaniah kita sebaliknya. Kita berambisi semakin lama semakin besar. Apakah ada jalan tengah? Sayang sekali, tidak.

Anda tahu apa bedanya “Kristen semut” dan “Kristen garam”? Semut senang berkerumun di tempat yang nyaman. Di mana ada gula, di situ ada semut. Garam? O, garam mesti siap diterjunkan di mana saja ia diperlukan. Biasanya di tempat-tempat yang tidak manis. Di situ, ia diminta rela memberikan semuanya, termasuk memberikan dirinya – melarut.

Menjadi “Kristen semut” tentu jauh lebih nikmat. Tentu! Tapi sayang sekali, Yesus tidak mengatakan bahwa kita adalah “semut”. Ia berkata, “Kamu adalah garam dunia.”


Dikutip dari : MlMm-13

Previous
Next Post »