Sepiring Nasi, Air Dingin dan Sebuah Pelukan yang Hangat

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk Aku” (Mat 25:40)

Selama tiga minggu terakhir ini aku menghabiskan waktuku dengan bekerja secara sukarela di kantor gereja kami yang telah diubah menjadi Pusat Pertolongan Bencana. Selama beberapa hari setelah dibuka, terjadi kekacauan berhubung anak buah kita masih harus belajar untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Setelah aku belajar untuk menggunakan sitem multi-telepon kita, kini aku menghabiskan waktuku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan serta menerima panggilan telepon dan menghubungkannya dengan orang yang dipanggil.

Disela-sela panggilan telepon, akupun menelepon sukarelawan kita yang amat banyak dan baru saja menyelesaikan latihan pekerjaan Palang Merah mereka beberapa hari yang lalu.

Keluargaku, gereja yang kami kunjungi dan ribuan penduduk dari kota kecil telah diubah menjadi suatu pusat relawan untuk menolong para penduduk yang telah menjadi korban dari topan Katarina yang dahsyat itu. Kami memberikan kepada mereka tiga kali makan sehari dan menawarkan kepada mereka segala sesuatu agar mereka merasa nyaman.

Komite Transportasi berjam-jam lamanya mengantar mereka ke dokter-dokter dan klinik, bank, kantor pos dan tempat lain untuk keperluan mereka. Sebuah tim yang terdiri dari para juru rawat dan para dokter selama 24 jam tetap berada di tempat kerja untuk memenuhi kebutuhan medis untuk para pengungsi. Untuk keamanan, polisi lokal bekerja dalam 8 regu selama 24 jam.

Kami semua bertekad untuk menunjukkan kasih Tuhan melalui perbuatan-perbuatan yang sederahana penuh keramahan yang diberikan kepada para pengungsi itu secara cuma-cuma.

Pada suatu sore sebuah panggilan telepon tiba dari sepasang suami isteri yang menawarkan diri untuk membantu melayani pemberian makan malam. Namun karena sesuatu keperluan yang tak terduga, mereka tidak dapat datang untuk melayani. Suamiku kebetulan berada di luar kota dan malam itu aku tidak perlu menyiapkan makan malam di rumah. Dengan demikian aku dengan sukarela dapat membantu di dapur umum setelah aku pulang dari pekerjaanku.

Berhubung dengan tulang punggung yang bermasalah, aku tidak dapat bertahan lama berdiri. Namun ketik aku membantu mempersiapkan makan malam, seorang wanita yang manis datang di meja dimana aku sedang bekerja.

“Apakah aku bisa meminta sepotong roti?”, tanyanya.

Sambil aku melayaninya, aku mengetahui ia tidak berada di tempat ketika waktu makan siang, sehingga kini ia merasa lapar. Dengan penuh suka cita aku membuka lemari pendingin dan mengeluarkan daging kalkun dan keju untuk dapat dimakan dengan sepotong roti dan memberikannya kepada wanita itu. Aku sama sekali tidak mengira bahwa tindakan sepele akan keramahan mempunyai dampak atas diriku beberapa jam kemudian.

Esok harinya aku membuka surat kabar lokal pagi dan di halaman yang pertama aku menemukan sebuah foto dan kisah dari wanita manis yang kemarin telah aku beri sepotong roti itu. Wanita itu menceritakan betapa ngeri pengalamannya ketika ia lolos dari badai topan yang dahsyat beberapa yang lalu. Kedua pekerjaan yang ia miliki telah hancur berkeping-keping oleh dahsyatnya badai topan itu dan kini ia telah kehilangan segala sesuatu. Ia tidak memiliki rumah lagi dan sama sekali tak berdaya sehingga secara total bergantung kepada belas kasihan dari orang lain yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di pusat pelayanan kita.

Sambil termenung setelah membaca kisah tragisnya, aku mendengar sesuatu yang jelas dan terang dari lubuk hatiku, Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Betapa hebat ungkapan ini. Apa yang aku lakukan hanya memberikan sepotong roti yang disumbangkan dan disiapkan oleh banyak relawan, namun Tuhan berbicara langsung kepadaku ketika aku menatap wajah di depanku itu.

Aku tahu bahwa ada sukacita di surga ketika Tuhan memandang ke bawah dimana ribuan relawan di seluruh negeri sedang memberi makan, uang, pakaian dan keramahan kepada mereka yang menjadi korban dari badai Katrina itu. Tindakan-tindakan penuh dengan empati itu tidak bergantung pada kekayaan, kemampuan ataupun kepandaian.

Melvia Cooper

REFLEKSI:

Ketika aku mempersiapkan artikel ini, aku ingat akan tragedi Situ Gintung yang tidak kalah dahsyatnya dari pada topan Katarina. Lewat mass media dan TV kita menyaksikan betapa sengsaranya mereka yang menjadi korban tragedi itu dimana dilaporkan ratusan jiwa yang meninggal atau hilang dan meninggalakan mereka yang mengasihi mereka dalam keputus asaan yang tak terlukiskan.

Previous
Next Post »