Pagi Hari Saat Natal

Seorang pastor paroki. Di akhir tahun ia merasa capai setelah melewati setahun yang keras dan sulit dengan sejuta problema. Hari ini adalah hari Natal. Walau kepalanya agak pening ia memaksa diri bangun dari tidur. Kepalanya hampa. Ketika membaca bacaan Injil di pagi Natal ini, segalanya tak membantu. Tak ada inspirasi yang meneguhkan hidup. Kisah tentang tiga raja dari Timur, tentang Maria, tentang Betlehem, tentang bayi Yesus dalam palungan, tentang para gembala dan malaikat?

"Huh...sudah bertahun-tahun saya mendengar semuanya ini. Tak ada yang baru. Setiap tahun saya telah banyak berkotbah tentang ini. Sekarang lagi-lagi harus berbicara tentang kisah yang sama." Dengan tenaga lesu si pastor paroki bangun dan dengan sedikit malas menyiapkan diri untuk perayaan kebaktian Natal.

“Natal?? Huh...”, si pastor paroki sekali lagi menghembuskan napas keluhannya. Apa arti sebuah Natal yang sudah diwarnai bisnis duniawi? Di mana-mana lagu natal diputar, di jalan raya penuh terpasang iklan dengan lukisan Santa Klaus. Sudah berapa kali saya berbicara tentang makna sebuah natal? Dan apakah saya masih harus berteriak lagi tentang makna natal padahal tak seorang pun rela menggubris kata-kataku? Bukankah saya telah gila? Saya berbicara tentang cinta, tentang perdamaian, tapi lihat… Kebencian dan permusuhan tetap saja menjadi santapan sedap berita koran dan televisi.

Sebelum si pastor paroki itu selesai membenah diri, sepasang muda-mudi berdiri dan mengetuk pintu pastoran. "Aku Joseph. Dan ini Maria." Kata lelaki yang berdiri di depan pintu itu sambil melirik ke arah wanita yang sudah hamil tua dan siap melahirkan yang berdiri di sampingnya. Wanita itu begitu kurus, keringat mengucur walau di luar udara terasa amat dingin. Pastor paroki memperhatikan mereka satu-persatu, lalu menggumam, "Engkau Joseph, dan itu Maria. Dan siapakah saya ini? Apakah kamu berpikir bahwa aku ini keledai untuk ditunggang Maria???"

Oh...pasangan yang malang. Keduanya kini harus menerima luapan amarah yang terpendam lama di bathin si pastor itu. Bom yang dijaga baik itu kini meledak juga. Sayangnya...ia meledak justru di pagi hari Natal.

Namun ketika melihat si gadis yang gemetar seluruh tubuh sambil tangannya memeluk kuat bantal yang dibawanya, sang pastorpun tergerak hatinya. Kemarahannya mereda, dan dengan cepat ia menghantar gadis itu ke rumah sakit. Dan di pagi natal yang dingin. Sang pastor melihat seorang bayi dilahirkan. Iapun melihat seorang ibu yang kesakitan. Suatu kehidupan baru yang menuntut pengorbanan.

Dalam kotbahnya sang pastor berkata, "Hari ini saya melihat seorang bayi dilahirkan. Dan saya memahami apa arti sebuah Natal. Aku melihat kepedihan dan ketakutan sang ibu. Dan aku melihat betapa sang ibu amat mencintai bayi yang baru dilahirkan itu. Kini aku mengerti cinta yang diberikan Tuhan kepada kita manusia, cinta yang terukir oleh darah, oleh keringat, oleh air mata. Inilah sebuah Natal. Tuhan datang dalam dingin, dalam bentuk seorang bayi lemah, hanya untuk mengatakan bahwa Ia adalah Emmanuel, bahwa Ia mencintai kita selamanya." Kata sang pastor seakan mengulangi lagi apa yang biasa dikotbahkannya pada pagi hari Natal. Bedanya, kali ini ia lebih berbicara kepada dirinya sendiri.

Previous
Next Post »