"...Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya kepada yang tidak punya...." (Lukas 3:11)
Yohanes Pembaptis adalah nabi Perjanjian Baru yang aneh bukan hanya karena pakaiannya aneh (jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit) dan makanannya juga aneh (belalang dan madu hutan) (Mat 3:4). Di tambah lagi dengan lingkungan kerjanya yang juga tidak biasanya padang gurun (Luk 3:2). Gayanya yang langsung dan terus terang rupanya menarik perhatian dan ternyata mendapat perhatian, disimak, dan ditanggapi secara positif oleh para pendengarnya. Seruan-seruannya yang lugas juga bertentangan dengan semangat zamannya, menyejukkan hati dan memberikan inspirasi yang segar bagi mereka yang mendengarnya. Tempat berkarya, pakaian, dan makanannya sudah menjadi aksi simbolik dari sebuah protes terhadap kondisi jamannya seperti layaknya para nabi pra pembuangan di Perjanjian Lama. Dia berkarya tidak di Yerusalem karena kota itu meski pun suci bagi orang Yahudi, sudah menjadi lambang kolusi antara penguasa Roma yang serakah dengan para pemimpin agama Yahudi yang munafik. Gurun pasir mau mengingatkan umat Allah pada perjalanan nenek moyang mereka keluar dari tanah MEsir ribuah tahun yang lewat yang menjadi masa 'bulan madu' yang mengesankan. Mereka merasakan sendiri bagaimana Allah menyertai dan memelihara mereka dengan setia. Belalang dan madu hutan hendak menggambarkan kebersahajaan atau kesederhanaan. Sungguh menjadi tanda-tanda simbolik yang lengkap sekali.
Seruan supaya orang bertobat ditanggapi dengan baik dan positif oleh para pendengar yang 'jauh-jauh' datang hanya untuk mendengarkan suara 'yang lain' daripada suara-suara yang klise. Ketika masyarakat bersikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai hakiki dari iman mereka. Yohanes Pembaptis di utus oleh Allah untuk menyerukan 'pertobatan'. Kata 'bertobat' 'metanoia' dalam bahasa Yunani atau 'syuv' dalam bahasa Ibrani punya makna 'banting setir' atau 'putar balik' karena sudah sadar bahwa perjalanan kehidupan sudah 'salah arah'. Bertobat bagi Yohanes Pembaptis atau, bahkan bagi Tuhan, bukan sekedar dulu saya perokok berat dan sekarang sudah berhenti merokok atau malahan ikut kegiatan anti merokok. Tentu tidak merokok apalagi tidak lagi merokok di sembarang tempat adalah suatu yang sangat luhur dan baik. Bertobat bukan sekadar yang tadinya penjudi lalu sekarang tidak berjudi lagi apalagi berhentinya karena sudah tidak punya duit lagi dan ikut ngegeropyok tempat perjudian. Bertobat lebih dari itu. Bertobat adalah perubahan 'arah' atau 'orientasi' kehidupan seseorang. Kalau selama berdosa orientasi kehidupan seseorang adalah 'aku'nya sendiri dengan segala kepentingan dan ambisinya dan menjadi 'egosentris' atau malahan 'egoistis'. Aku dengan segala kepentingan dan ambisinya menjadi nomor satu dalam kehidupannya. Ketika seorang bertobat maka orientasi atau arah kehidupannya adalah Allah sendiri. Allah dengan semua rencana dan kehendak-Nya menjadi nomor satu dan terutama dari kehidupannya. Allah dengan semua kemauan-Nya (yang pasti baik dan benar) mendapat prioritas dan perhatian utama untuk ditaati. Yesus nanti juga mewujud-nyatakan cita-cita ini secara sempurna dalam pribadi, hidup, dan karya serta kata-kata-Nya. Orang yang belum bertobat adalah orang yang menomor satukan dirinya sendiri. Bagi orang berdosa 'aku' dengan segala keinginan dan angan-angannya adalah yang paling cepat untuk diperjuangkan, juga bila untuk itu, Tuhan dan sesamanya manusia disingkirkan. Bertobat memang mengubah paradigma tetapi tidak boleh menjadi sesuatu yang abstrak. Ia harus menjadi sebuah 'praksis' yang tidak praktis. Biasanya 'praktis' dipakai dalam pengertian mudah, nyamann adem, casual, dan gampang. Praksis artinya saya tahu dan sadar sepenuhnya tentang satu hal yang baik dan benar yang bila dilakukan dengan sepenuh hati akan menciptakan suasana kehidupan yang damai sejahtera. Tetapi ketika saya mencoba mengejawantahkan nilai-nilai yang baik dan benar itu ternyata harus mengalami pergumulan yang tidak enteng melainkan berat, bahkan sangat berat. Hal yang paling berat untuk mempraksiskan nilai iman kepada Tuhan adalah mesti berani menyangkal diri (Luk 9:23). Bertobat artinya menempatkan Tuhan dan kepentingan-kepentingan-Nya di depan diri kita sendiri dengan segala angan-angan dan keinginan-keinginannya. Mari kita lihat bagaimana Yohanes Pembaptis memberikan contoh yang praksis yang tidak praktis, contoh yang sederhana tetapi tidak naif seperti dikutip di awal tulisan ini.
Reaksi spontan kita ketika kita membaca imbauan tadi biasanya adalah : "aku mesti ganti baju apa lagi kalau punya dua diberikan kepada orang lain satu". Kalau kita hanya mempunyai dua stel pakaian maka itu artinya satu stel sekarang melekat di tubuh kita dan satu stel lainnya sedang dicuci. Jadi nampaknya wajar bila reaksi spontan kita mengatakan demikian. Tetapi mestinya kita membayangkan dua stel pakaian saja?" Rasanya tidak satu pun di antara kita yang hanya mempunyai dua stel pakaian saja. Ada yang memiliki lima belas atau dua belas atau sepuluh atau enam stel tetapi PASTI TIDAK satu stel saja. Lalu ingatlah kapan kita paling akhir ikut aksi pengumpulan pakaian pantas pakai (untuk menghaluskan kata "pakaian bekas" dan pantas menurut siapa?) untuk siapa saja. Adakah diantara kita yang secara serta merta pulang ke rumah, masuk ke kamar pribadi, membuka almari pakaian kita, dan begitu saja mengambil dua tiga helai atau setumpuk pakaian tanpa memilihnya lagi? Pastilah kita melakukan seleksi ketat untuk menentukan mana yang kita anggap pantas menurut kita untuk diberikan kepada kaum duafa yang menjadi sasaran aksi sosial kita. Ketika kita melakukan seleksi maka pertimbangan utamanya adalah kepentingan 'aku' bukan? Yang biru, sayang, karena ini oleh-oleh dari pacar yang pulang dari Amerika. Yang merah, sayang, karena masih nyaman dikenakan. Yang hijau, sayang, karena ini hadiah ulang tahun suami, yang coklat, sayang, karena ia adalah kenang-kenangan waktu pergi ke Singapura, dst. Ketika kita mendapati satu kemeja yang sudah luntur warnanya, dengan kain yang sudah menipis dimakan waktu, dan sedikit robek dikerahnya, kita berseru : "Nah, ini yang pantas!" (pantas dijadikan gombal atau dibuang mestinya). Kenapa kita punya berlebih dan selalu pelit untuk membagikannya satu daripadanya yang masih baik atau malahan yang baru? Jawabnya bukan karena saya punya atau tidak punya tetapi karena BELUM BERTOBAT! Ini bukan sekedar kegiatan filantropis asal-asalan tetapi bisa menjadi indikator untuk penghayatan iman kita kepada Tuhan.
Nah, anda ingin Natal tahun 2007 ini memberikan kesan mendalam? Beli dan bagikan pakaian yang baru untuk saudara-saudara kita yang membutuhkannya. Yang baru tidak harus berarti berharga 500rban karena yang SALE pun boleh lah, sepanjang memang betul-betul baru. Lalu ditambahkan sentuhan pribadi kepadanya (hantarlah dan berikan sendiri) disertai dengan sikap rendah hari yang tulus dan rela. Yang menerima akan berbagaia karena pemberian itu tidak hanya materi tetapi disertai dengan HATI bahkan IMAN. Lakukan, maka Natal tahun ini pasti lebih berkesan ketimbang Natal tahun yang lalu. Selamat.
oleh : Pdt. Samuel Santoso, Mth.
Yohanes Pembaptis adalah nabi Perjanjian Baru yang aneh bukan hanya karena pakaiannya aneh (jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit) dan makanannya juga aneh (belalang dan madu hutan) (Mat 3:4). Di tambah lagi dengan lingkungan kerjanya yang juga tidak biasanya padang gurun (Luk 3:2). Gayanya yang langsung dan terus terang rupanya menarik perhatian dan ternyata mendapat perhatian, disimak, dan ditanggapi secara positif oleh para pendengarnya. Seruan-seruannya yang lugas juga bertentangan dengan semangat zamannya, menyejukkan hati dan memberikan inspirasi yang segar bagi mereka yang mendengarnya. Tempat berkarya, pakaian, dan makanannya sudah menjadi aksi simbolik dari sebuah protes terhadap kondisi jamannya seperti layaknya para nabi pra pembuangan di Perjanjian Lama. Dia berkarya tidak di Yerusalem karena kota itu meski pun suci bagi orang Yahudi, sudah menjadi lambang kolusi antara penguasa Roma yang serakah dengan para pemimpin agama Yahudi yang munafik. Gurun pasir mau mengingatkan umat Allah pada perjalanan nenek moyang mereka keluar dari tanah MEsir ribuah tahun yang lewat yang menjadi masa 'bulan madu' yang mengesankan. Mereka merasakan sendiri bagaimana Allah menyertai dan memelihara mereka dengan setia. Belalang dan madu hutan hendak menggambarkan kebersahajaan atau kesederhanaan. Sungguh menjadi tanda-tanda simbolik yang lengkap sekali.
Seruan supaya orang bertobat ditanggapi dengan baik dan positif oleh para pendengar yang 'jauh-jauh' datang hanya untuk mendengarkan suara 'yang lain' daripada suara-suara yang klise. Ketika masyarakat bersikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai hakiki dari iman mereka. Yohanes Pembaptis di utus oleh Allah untuk menyerukan 'pertobatan'. Kata 'bertobat' 'metanoia' dalam bahasa Yunani atau 'syuv' dalam bahasa Ibrani punya makna 'banting setir' atau 'putar balik' karena sudah sadar bahwa perjalanan kehidupan sudah 'salah arah'. Bertobat bagi Yohanes Pembaptis atau, bahkan bagi Tuhan, bukan sekedar dulu saya perokok berat dan sekarang sudah berhenti merokok atau malahan ikut kegiatan anti merokok. Tentu tidak merokok apalagi tidak lagi merokok di sembarang tempat adalah suatu yang sangat luhur dan baik. Bertobat bukan sekadar yang tadinya penjudi lalu sekarang tidak berjudi lagi apalagi berhentinya karena sudah tidak punya duit lagi dan ikut ngegeropyok tempat perjudian. Bertobat lebih dari itu. Bertobat adalah perubahan 'arah' atau 'orientasi' kehidupan seseorang. Kalau selama berdosa orientasi kehidupan seseorang adalah 'aku'nya sendiri dengan segala kepentingan dan ambisinya dan menjadi 'egosentris' atau malahan 'egoistis'. Aku dengan segala kepentingan dan ambisinya menjadi nomor satu dalam kehidupannya. Ketika seorang bertobat maka orientasi atau arah kehidupannya adalah Allah sendiri. Allah dengan semua rencana dan kehendak-Nya menjadi nomor satu dan terutama dari kehidupannya. Allah dengan semua kemauan-Nya (yang pasti baik dan benar) mendapat prioritas dan perhatian utama untuk ditaati. Yesus nanti juga mewujud-nyatakan cita-cita ini secara sempurna dalam pribadi, hidup, dan karya serta kata-kata-Nya. Orang yang belum bertobat adalah orang yang menomor satukan dirinya sendiri. Bagi orang berdosa 'aku' dengan segala keinginan dan angan-angannya adalah yang paling cepat untuk diperjuangkan, juga bila untuk itu, Tuhan dan sesamanya manusia disingkirkan. Bertobat memang mengubah paradigma tetapi tidak boleh menjadi sesuatu yang abstrak. Ia harus menjadi sebuah 'praksis' yang tidak praktis. Biasanya 'praktis' dipakai dalam pengertian mudah, nyamann adem, casual, dan gampang. Praksis artinya saya tahu dan sadar sepenuhnya tentang satu hal yang baik dan benar yang bila dilakukan dengan sepenuh hati akan menciptakan suasana kehidupan yang damai sejahtera. Tetapi ketika saya mencoba mengejawantahkan nilai-nilai yang baik dan benar itu ternyata harus mengalami pergumulan yang tidak enteng melainkan berat, bahkan sangat berat. Hal yang paling berat untuk mempraksiskan nilai iman kepada Tuhan adalah mesti berani menyangkal diri (Luk 9:23). Bertobat artinya menempatkan Tuhan dan kepentingan-kepentingan-Nya di depan diri kita sendiri dengan segala angan-angan dan keinginan-keinginannya. Mari kita lihat bagaimana Yohanes Pembaptis memberikan contoh yang praksis yang tidak praktis, contoh yang sederhana tetapi tidak naif seperti dikutip di awal tulisan ini.
Reaksi spontan kita ketika kita membaca imbauan tadi biasanya adalah : "aku mesti ganti baju apa lagi kalau punya dua diberikan kepada orang lain satu". Kalau kita hanya mempunyai dua stel pakaian maka itu artinya satu stel sekarang melekat di tubuh kita dan satu stel lainnya sedang dicuci. Jadi nampaknya wajar bila reaksi spontan kita mengatakan demikian. Tetapi mestinya kita membayangkan dua stel pakaian saja?" Rasanya tidak satu pun di antara kita yang hanya mempunyai dua stel pakaian saja. Ada yang memiliki lima belas atau dua belas atau sepuluh atau enam stel tetapi PASTI TIDAK satu stel saja. Lalu ingatlah kapan kita paling akhir ikut aksi pengumpulan pakaian pantas pakai (untuk menghaluskan kata "pakaian bekas" dan pantas menurut siapa?) untuk siapa saja. Adakah diantara kita yang secara serta merta pulang ke rumah, masuk ke kamar pribadi, membuka almari pakaian kita, dan begitu saja mengambil dua tiga helai atau setumpuk pakaian tanpa memilihnya lagi? Pastilah kita melakukan seleksi ketat untuk menentukan mana yang kita anggap pantas menurut kita untuk diberikan kepada kaum duafa yang menjadi sasaran aksi sosial kita. Ketika kita melakukan seleksi maka pertimbangan utamanya adalah kepentingan 'aku' bukan? Yang biru, sayang, karena ini oleh-oleh dari pacar yang pulang dari Amerika. Yang merah, sayang, karena masih nyaman dikenakan. Yang hijau, sayang, karena ini hadiah ulang tahun suami, yang coklat, sayang, karena ia adalah kenang-kenangan waktu pergi ke Singapura, dst. Ketika kita mendapati satu kemeja yang sudah luntur warnanya, dengan kain yang sudah menipis dimakan waktu, dan sedikit robek dikerahnya, kita berseru : "Nah, ini yang pantas!" (pantas dijadikan gombal atau dibuang mestinya). Kenapa kita punya berlebih dan selalu pelit untuk membagikannya satu daripadanya yang masih baik atau malahan yang baru? Jawabnya bukan karena saya punya atau tidak punya tetapi karena BELUM BERTOBAT! Ini bukan sekedar kegiatan filantropis asal-asalan tetapi bisa menjadi indikator untuk penghayatan iman kita kepada Tuhan.
Nah, anda ingin Natal tahun 2007 ini memberikan kesan mendalam? Beli dan bagikan pakaian yang baru untuk saudara-saudara kita yang membutuhkannya. Yang baru tidak harus berarti berharga 500rban karena yang SALE pun boleh lah, sepanjang memang betul-betul baru. Lalu ditambahkan sentuhan pribadi kepadanya (hantarlah dan berikan sendiri) disertai dengan sikap rendah hari yang tulus dan rela. Yang menerima akan berbagaia karena pemberian itu tidak hanya materi tetapi disertai dengan HATI bahkan IMAN. Lakukan, maka Natal tahun ini pasti lebih berkesan ketimbang Natal tahun yang lalu. Selamat.
oleh : Pdt. Samuel Santoso, Mth.
EmoticonEmoticon