Suatu Pelajaran Kasih

Aku mengamati dengan teliti, ketika adik lelakiku yang bernama John tertangkap basah karena perbuatannya. Ia sedang duduk di sebuah sudut ruang keluarga dengan sebuah pena di tangan satunya dan buku puji-pujian milik Ayah yang baru sama sekali di tangan yang lain.

Ketika Ayah memasuki ruangan, adikku agak ketakutan; ia merasa bahwa ia telah membuat suatu kesalahan. Dari kejauhan aku bisa melihat bahwa ia telah membuka buku puji-pujian yang baru itu serta mencorat-coret selebar serta sepanjang lembar pertama dari buku itu dengan penanya. Sekarang, ia sedang menatap Ayah dengan rasa ketakutan sambil dia dan aku bersama menunggu apa yang Ayah akan perbuat. Dan ketika kami menunggu hukuman apa yang Ayah akan kenakan kepada adik, kami tidak menerka sedikitpun bahwa Ayah akan mengajarkan kepada kami suatu pelajaran yang mendalam dan tak terlupakan tentang kehidupan dan kekeluargaan. Ajaran-ajarannya itu semakin menjadi lebih dimengerti dengan lewatnya tahun lepas tahun.

Ayah memungut buku puji-pujiannya yang amat ia sayangi itu, mengamatinya dengan teliti, kemudian duduk tanpa mengatakan apapun.

Semua buku merupakan sesuatu yang amat berharga bagi dia; ia adalah seorang hamba Tuhan dan pemegang beberapa gelar akademis. Bagi dia, buku-buku merupakan pengetahuan, namun ia pun menyayangi anak-anaknya. Apa yang ia lakukan kemudian sungguh luar biasa.

Ia tidak menghukum adikku, ia pun tidak memaki atau berteriak-teriak secara emosional, melainkan ia duduk, mengambil pennya dari tangan adik dan kemudian menulis di buku pujian itu di samping corat-coret yang telah dibuat oleh adik. Tulisannya berbunyi: Karya John, 1959, umur 2 tahun. Betapa seringnya aku memandang wajahmu yang tampan dan kepada matamu yang hangat dan cerah yang sedang memandangku. Akupun bersyukur kepada Tuhan untuk dia yang kini mencorat-coret di dalam buku pujianku yang baru.

“Aduh!”, aku pikir. “Hukuman apa ini?”

Tahun lepas tahun serta buku-buku datang dan pergi. Keluarga kita mengalami hal-hal yang juga dialami oleh keluarga lain, mungkin lebih banyak sedikit: suka cita dan kesusahan, kejayaan dan kehilangan, tawa dan air mata. Kami memperoleh cucu-cucu dan kehilangan seorang anak laki-laki. Kami selalu tahu bahwa orang tua kami mengasihi kami. Dan salah satu bukti dari kasih itu adalah buku nyanyian di dekat piano itu. Kadang-kadang, kami membukanya, memandang kepada corat-coret itu, membaca ekspresi dari Ayah dan merasakan syukur yang amat dalam.

Sekarang aku baru mengerti bahwa melalui perbuatan Ayah yang sederhana itu, beliau mengajar kami bahwa setiap kejadian di dalam hidup ini mempunyai segi yang positif – bila kita bersedia untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda – dan betapa besar nilainya bila hidup kita disentuh oleh tangan-tangan kecil. Namun ia pun mengajar kepada kami, apa sebenarnya yang penting dalam hidup ini: manusia bukan barang; toleransi bukan penghukuman; kasih bukan kemarahan.

Kini, akupun menjadi seorang ayah. Dan seperti Ayahku, seorang hamba Tuhan dan pemegang beberapa gelar akademis. Namun, tidak seperti Ayah, aku tidak menunggu sampai putri-putriku dengan diam-diam mengambil buku nyanyianku dari rak buku dan mencorat-coret di dalamnya.

Kadang-kadang, aku mengambil sejilid – bukan sejilid buku murahan, melainkan sebuah buku yang aku akan memilikinya bertahun-tahun, dan memberikan kepada salah seorang putriku untuk menulis namanya di dalam buku itu.

Dan bila aku memandang hasil tulisannya, aku ingat akan Ayahku, pelajaran-pelajaran yang ia ajarkan kepadaku, kasihnya terhadap kami, anak-anaknya – kasih yang demikian besarnya terhadap keluarganya.

Aku mengenang akan hal itu dan tersenyum, “Terima kasih, Pap!”

Arthur Bowler

Previous
Next Post »