Potongan Kain Permadani

Ketika aku menghadap kepada Penciptaku pada hari pengadilan, aku bertelut bersama dengan jiwa-jiwa lain. Di depan kami terbentang kehidupan, laksana potongan-potongan kain dari sebuah selimut. Seorang malaikat duduk di depan kami masing-masing dan sedang menjahit potongan-potongan kain menjadi sebuah permadani yang merupakan kehidupan kami.

Namun ketika malaikatku mengambil potongan-potongan kain dari tumpukan, aku mengamati betapa compang-camping dan kosong potongan kainku itu. Kain itu dipenuhi oleh lubang-lubang yang besar. Setiap potongan diberi etiket dan merupakan sebagian dari kehidupanku yang penuh kesukaran, kepedihan dan pencobaan yang kuhadapi dalam hidup sehari-hariku. Akupun menyaksikan berbagai penderitaan yang aku harus alami dan ini merupakan lubang-lubang yang paling besar.

Aku memandang di sekitarku. Tidak ada yang memiliki potongan kain seperti milikku. Selain beberapa lubang-lubang kecil, perma-dani milik mereka diwarnai dengan warna-warna yang kaya serta corak yang cerah dari kejayaan duniawi. Aku memandang kehidupanku dan menjadi masgul. Malaikatku menjahit potongan-potongan kainku yang compang–camping menjadi satu, tipis menerawang dan kosong seperti ingin mengikat udara menjadi satu.

Akhirnya tiba saatnya untuk menunjukan masing-masing kehidupannya kepada umum, diangkat, diperiksa terhadap sinar matahari, diselidiki dengan teliti akan kebenarannya. Yang lain berdiri dan masing-masing mengangkat permadaninya untuk memperlihatkan bagaimana hidup mereka sebenarnya.

Tibalah giliranku. Malaikatku memandangku dan memberi tanda agar aku berdiri. Aku menundukan mataku ke arah lantai oleh karena merasa malu. Aku tak pernah menikmati kekayaan dunia. Aku telah mengalami kasih dan sukacita dalam hidupku. Namun, di samping itu, akupun mengalami pencobaan akan sakit penyakit dan kematian serta tuduhan-tuduhan yang palsu yang sangat menyakitkan. Seringkali aku harus memulai lagi dari permulaan. Aku seringkali harus bergumul dengan pencobaan untuk menyerah saja, namun entah bagaimana aku masih dapat mengumpulkan sisa kekuatan untuk mencoba lagi. Aku telah melewatkan malam demi malam yang sunyi-senyap di lututku dalam doa, memohon akan bimbingan dan pertolongan dalam hidupku. Aku seringkali dipermalukan oleh yang kujalani dengan tabah dan penuh kepedihan: Setiap kali aku menyerahkannya kepada Bapa surgawi dengan pengharapan bahwa aku tidak menjadi lebur dan larut di bawah penghukuman dari mereka yang dengan tidak adil menghakimiku.

Dan kini, aku harus menghadapi kebenaran. Hidupku ialah seperti itu, dan aku harus menerima sesuai dengan kenyataan. Aku berdiri dengan pelan dan mengangkat kombinasi potongan-potongan kainku yang menggambarkan kehidupanku terhadap sinar matahari. Suatu keheningan yang amat terasa memenuhi ruang itu. Aku melirik sekitarku dan semua orang memandangku dengan mata terbelalak.

Kemudian, aku mengamati permadaniku di depanku. Sinar matahari memenuhi lubang-lubang dan membentuk sebuah gambaran, Wajah dari Kristus. Kemudian Tuhanku berdiri di depanku dengan penuh kasih-sayang dan kehangatan dari dalam mata-Nya. Ia bersabda, ”Setiap kali engkau memberikan hidupmu kepada-Ku, maka itu menjadi hidup-Ku, penderitaan-Ku dan pergumulan-Ku, Setiap titik cahaya dalam hidupmu, bila engkau bersedia untuk meniadakan yang lain dan membiarkan Aku menyinarinya, maka terdapat lebih banyak dari diri-Ku dari pada dirimu.”

Previous
Next Post »