Suatu saat, siang hari, Mawar mencurahkan hatinya kepada Bakung di sebuah kebun yang indah dan segar karena dikelilingi pohon mangga yang besar dan rindang, pohon durian yang sedang lebat buahnya, juga pohon rambutan yang lagi mulai berbunga.
Mawar bertanya pada Bakung, "Bakung, kenapa kamu hanya berbunga sebulan sekali, tapi harum mewangi kelopakmu, tanpa duri lagi! Kamu cantik dan banyak orang mengagumimu, seluruh dirimu, kelopak, tangkai dan daunmu."
Bakung menatap Mawar, katanya, "Mawar, temanku, kenapa engkau bertanya begitu? Apakah engkau ingin menjadi diriku?"
Sahut Mawar, "Iya Bakung, aku pingin jadi dirimu saja. Banyak orang mengagumi, karena dikau tidak pilih kasih untuk memberikan aroma wangimu kepada siapapun. Sementara aku ini hanya disenangi orang karena kelopakku dan harum diriku, tapi duri-duriku, siapa yang mau?"
Balas Bakung, "Ehmm begitu, tapi aku memberikan harumku pada siapapun, bukan karena diriku, tapi karena Tuhan yang telah menciptakan aku. Aku diberinya tugas hanya berbunga dan membagikan aromaku pada siapapun. Aku sendiri tidak bisa menghentikan aromaku bila ada orang jahat yang mencium kelopakku."
Jawab Mawar, "Iyaa Bakung, aku pun begitu, tapi satu ganjalan yang belum engkau katakan, kenapa tangkaiku harus berduri? Kenapa Tuhan memberikan duri itu, sehingga banyak orang menjauhi aku?
Dengan tatapan penuh keramahan, Bakung menenangkan hati Mawar, "Sobatku, jangan terlalu berpikir negatif pada Tuhan, ya! Tuhan menciptakan duri pada tangkaimu bukan untuk membuatmu terasing dan disingkirkan oleh manusia! Justru duri-duri di tangkaimu itu menjadi simbol kehidupan ini, yang tidak selalu mulus, tetapi ada duri-duri kerapuhan, duri masalah, dan sebagainya. Aku pun rapuh, coba saja pegang daunku yang mudah patah, dan roboh kalau kena angin. Kelopakku juga tidak bertahan lama, kena hujan deras, aku sudah tidak tahan untuk tetap tegar. Aku sadar, diriku pun rapuh. Kelopak, daunku juga simbol bagi manusia yang mudah rapuh."
Mendengar kata kata Bakung, Mawar menjadi tenang. "Bakung, terima kasih banyak, engkau memberikan banyak peneguhan untukku. Aku tetap mau jadi simbol hidup manusia. Yang terindah dalam diriku, kelopakku, selalu ada bersama dengan duriku. Begitu juga hidup manusia, selalu ada duri."
Sahut Bakung, "Iya Mawar, begitulah hidup manusia! Tuhan menciptakan kita untuk hidup bersama dengan manusia, agar mereka pun sadar, tidak bisa tidak manusia hidup bersama dengan kerapuhannya. Bukankah di balik keindahan kelopakku, ada daunku yang mudah patah dan sobek bila terkena angin kencang dan hujan deras."
Kata Mawar, "Iya benar, kelopakmu indah justru berkembang karena daun-daunmu yang rapuh itu sudah bertunas dan menua."
Sahut Bakung, "Begitu juga dirimu, keindahan dan keharuman kelopakmu tidak pernah lepas dari tangkaimu yang berduri!"
Mawar pun tersenyum lega, "Jadi, aku tidak perlu, kan, berganti menjadi dirimu, Bakung?"
Kata Bakung, "Iyaa, tidak perlu! Kita tidak usah saling berganti peran, biarlah engkau menjadi Mawar Berduri, dan aku jadi Bakung yang mudah sobek daunnya!.”
Setelah mereka mengatakan itu, Mawar pamitan, "Bakung, terima kasih banyak ya...peneguhanmu! Aku pamit dulu, matahari sudah terbenam. Besok kita ketemu lagi ya!"
Bakung mengangguk, "Iya Mawar, terima kasih juga keterbukaanmu! Menjelang fajar merekah, aku akan menyapamu lebih dulu ya!"
Mawar dan Bakung lalu beristirahat menantikan Sang Mentari terbit di ufuk Timur.
Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib - (1 Petrus 2:9)
EmoticonEmoticon