Namanya Juga Anak Muda

Tubuhnya yang kecil serta wajahnya yang naif, tak dapat menyembunyikan usianya yang memang baru belasan. Tepatnya, 16 tahun. Bagi saya, "anak" ini mewakili generasi sebayanya. Mungkin tak semuanya, namun paling sedikitnya sebagian dari mereka.

Pagi itu ia -- sebut saja namanya “Irene” -- datang, meminta agar pernikahannya dapat diberkati digereja. Tentu saja saya terkejut. Saya mengenal benar “anak” ini. Ia pernah jadi “anak didik” saya.

“Mengapa begitu cepat? Dan mengapa begitu tiba-tiba?”, tanya saya.

“Saya sudah hamil empat bulan,pak”, jawabnya.

“Hamil? Empat bulan?”

“Ya, pak”.

“Apa yang terjadi? Dengan siapa?”

Lalu ia pun bercerita. Bla bla bla. Tanpa beban. Setelah itu, giliran saya ‘berkhotbah’. Bla bla bla. Sangat penasaran. Akhirnya saya bertanya, “Apa kamu tidak menyesal?”.

“Menyesal sih menyesal,pak”.

“Menyesal karena apa yang telah kalian lakukan, atau sekadar karena kamu hamil?”

“Ya terutama karena saya hamil, pak. Sebab sebenarnya saya 'kan masih pengen sekolah, pak”.

“Itu artinya kamu tidak menyesal karena dosa yang telah kamu lakukan. Begitu, bukan?”, tanya saya - wah, gemasnya!

“Yah, namanya juga anak muda, pak,” jawabnya. Enteng sekali.

SAYA setuju dengan Barclay yan gmengatakan, bahwa etika Kristen harus berbicara mengenai masalah “seks pra-nikah” ini dengan serius. Bukan saja karena jumlahnya semakin banyak, tetapi terutama karena kegiatan seksual ini-- dengan lambat, tapi pasti -- kian menahbiskan diri sebagai kegiatan seksual yang “normal”. Sekiranya tidak terjadi wabah HIV/AIDS, kecenderungan ini pasti kian tak terbendung.

Namun begitu, banyak orang toh memilih diam atau sekadar mencaci-maki tak keruan. Orang-orang yang menolak seks pra-nikah dengan sepenuh keyakinan kian terpinggirkan. Karenanya, enggan menampilkan posisinya dengan lantang dan terus terang.

Di Barat, sejak puluhan tahun silam, malah muncul teolog-teolog kristen yang justru membela praktik ini. Salah satunya yang paling terkenal adalah Joseph Fletcher. Profesor etika Kristen ini antara lain menulis, “Kultus keperawanan agaknya akan menjadi benteng perlawanan terakhir terhadap kebebasan seks, dan pasti akan ambruk. Sebab kini, berkat perkembangan di bidang kedokteran, orang bisa bebas melakukan kegiatan seksualnya tanpa dibayangi ketakutan seperti sebelumnya”.

Memang tidak semua yang dikatakan Fletcher itu salah. Namun, saya mohon, jangan pula pandangan-pandangannya itu kita telan bulat-bulat. Sebab tidak semua yang walaupun dikatakan oleh seorang profesor, bermanfaat bagi kekristenan. Ini telah diingatkan oleh seorang teolog lain, Malcolm Muggeridge, yang mengatakan, “Kita telah membiarkan seniman-seniman kita dengan bebas menghancurkan kesenian; penulis-penulis kita menghancurkan kesusastraan; sarjana-sarjana kita menghancurkan keilmuwanan; dan agamawan-agamawan kita menghancurkan agama. Kita mengembang-biakkan barbarian di rumah kita sendiri”.

Kebungkaman banyak orang terhadap masalah seks pra-nikah, adalah “kediaman” yang berbahaya. Seperti diilustrasikan oleh eksperimen terkenal dari seorang psikolog, Profesor John Court. Seekor katak ia taruh di sebuah wadah yang berisi air dingin. Pelahan-pelahan sekali, suhu air itu dinaikkan. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ke titik didih. Namun yang mengherankan adalah, katak itu kalem-kalem saja. Tak sedikit pun ia berusaha menyelamatkan diri. Rupanya proses perubahan itu berlangsung begitu lambatnya, sehingga katak itu nyaris tak merasakan apa-apa. Karena kediamannya itulah, ia mati.

APA yang disebut sebagai “revolusi seks”, juga demikian. Ia terjadi dengan bergugurannya “tabu-tabu” - tidak sekaligus, melainkan satu demi satu. Tidak kentara. Eksperimen di atas mengingatkan, justru karena itulah “revolusi” ini layak kita cermati dengan serius. Sebelum kita terkejut, lalu cuma bisa tergagap-gagap. Dalam salah satu refleksi kita yang terdahulu saya telah menyinggung, bagaimana orang modern cenderung memisahkan “seks” dari “pernikahan”. “Seks pra-nikah” adalah salah satu wujudnya.

Menurut Barclay, ada tiga alasan yang paling kerap dikemukakan orang, guna membenarkan kegiatan seksual yang dilakukan sebelum -- atau di luar --perkawinan.

Pertama, adalah ANTISIPASI. Ini adalah kegiatan seksual yang dilakukan oleh sepasang anak manusia yang saling mencinta. Begitu rupa, sehingga mereka merasa yakin dan pasti, bahwa pada suatu saat mereka akan menikah. “Mengantisipasi” pernikahan mereka yang pasti itulah, mereka tanpa ragu melakukan hubungan seks. “Apasalahnya? Kami toh pasti akan menikah”.

Tindakan yang mereka lakukan itu, mungkin secara esensial memang belum dapat dikategorikan sebagai “zinah”. Motivasi mereka pun boleh jadi memang tulus. Namun, toh ada dua hal yang perlu dikemukakan.

(a) mereka mengatakan, bahwa untuk mengekspresikan cinta kasih mereka yang murni itulah, mereka melakukan hubungan seks. Pertanyaan saya adalah, mengapa tidak sebaliknya? Mengapa mereka tidak mengekspresikannya, justru dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum mereka benar-benar suami-istri? Bukankah salah satu ekspresi cinta yang sejati. adalah kesanggupan mengendalikan diri?

(b), apa sih yang betul-betul pasti di dunia ini? Dari mana mereka bisa begitu yakin, bahwa mereka pasti akan menikah - pada satu hari? Dalam hidup ini, anak-anakku, tak ada yang 100% pasti. Buktinya amat banyak. Tidak bijaklah mengantisipasi sesuatu, yang di luar daya kita untuk mengantisipasinya!

ARGUMENTASI kedua, saya sebut saja, SIMULASI. Atau “coba dulu baru beli”. Kata mereka, “Membeli baju atau sepatu saja 'kan perlu mencoba dahulu. Apa lagi mau menikah. Sebab itu “mencoba” itu perlu, agar orang mengetahui dengan pasti, bahwa memang dialah orangnya, dengan siapa ia akan menghabiskan seluruh sisa umurnya. Caranya? Dengan “hidup bersama” dulu. Hidup bersama dijadikan simulasi atau tiruan hidup perkawinan yang sesungguhnya.

Argumentasi ini sepintas lalu terkesan masuk akal. Tapi sebenarnya ia mengandung salah-perkiraan yang fundamental! Salah besarlah, orang yang menyangka bahwa hidup perkawinan itu dapat disimulasikan. “Hidup bersama” tidak pernah mungkin menggambarkan hidup perkawinan yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini, Barclay mengemukakan sebuah analogi yang menarik. Tentang seorang yang memutuskan, untuk beberapa bulan hidup di daerah kumuh bersama-sama dengan orang-orang miskin. Dengan jalan itu, ia berharap bisa mengalami secara langsung dan pribadi, bagaimana rasanya jadi orang melarat itu.

Maksud yang mulia! Tapi salah perhitungan. Tinggal di daerah kumuh memang dapat memberikan banyak pengalaman berharga. Tapi tetap tidak mungkin membuat orang benar-benar mengetahui bagaimana sih rasanya jadi orang melarat itu. Mengapa? Sebab ada perbedaan yang sangat mendasar. Si relawan bisa setiap saat meninggalkan situasi kemiskinan itu. Pengalamannya dapat menjadi bagaikan petualangan dan ekskursi yang romantis, seperti ketika orang berlibur dengan berkemah di hutan. Tidak enak, tapi nikmat. Sedang orang-orang miskin itu? Mereka tidak punya pilihan lain. Seumur hidup mereka, mereka sudah terperangkap oleh ke melaratan mereka. Dan ini melahirkan dua sikap, bahkan mentalitas, yang berbeda!

Intinya adalah, “perkawinan” tidak pernah dapat dieksperimenkan. Sebab perkawinan adalah sebuah “komitmen”. Orang tidak dapat mengeskperimenkan komitmen. Yang mungkin hanyalah, “menerima” atau “menolak”. Tidak ada peluang untuk “coba-coba”.

KETIGA, adalah alasan yang mengatakan bahwa ESENSI adalah segala-galanya. Perkawinan itu lebih daripada sekadar secarik kertas atau sebuah seremoni. Esensi sebuah perkawinan adalah komitmen untuk membangun relasi. Inilah yang terpenting, dengan atau tanpa perkawinan. Dengan atau tanpa formalitas. Argumentasi yang jitu, bukan? Esensi dan kualitas tentu saja memang lebih utama ketimbang bungkus luarnya. Tapi apakah itu berarti, formalitas tidak ada nilainya? Kenyataan menunjukkan, walaupun formalitas bukan segala-galanya, tapi orang memerlukannya. Sebuah “kontrak kerja”, misalnya, memang tidak menjamin adanya komitmen yang tulus dari kedua belah pihak. Tapi paling sedikit ia memberi “pegangan”. Orang bisa melakukan tindakan hukum bila itu dilanggar.

Yang saya khawatirkan adalah, orang yang mengatakan bahwa “komitmen, bukan formalitas yang penting”, sebenarnya adalah orang yang menolak komitmen. Orang yang mengatakan bahwa formalitas pernikahan tidak penting -- sebab hanya cinta kasih, relasi dan komitmen-lah yang penting -- sering adalah orang yang menolak untuk memberi komitmen resmi.

Mereka masuk dari pintu depan, tapi diam-diam menyiapkan “pintu darurat” di belakang. Agar sewaktu-waktu mereka bisa melarikan diri dari komitmen dan relasi, yang selalu mereka katakan paling penting itu. Dan melarikan diri dengan mudah, tanpa direpotkan oleh tetek-bengek formalitas, seperti mengurus surat cerai dan sebagainya. Nah, ketahuan belangnya, bukan?

Oleh Pdt. Eka Darmaputera

Previous
Next Post »