Tuduhan Palsu Terhadap Hamba Tuhan

Salah satu kisah yang amat menyedihkan serta menakutkan yang pernah kudengar adalah menyangkut seorang Penginjil yang masih muda. Ia baru berumur 21 tahun, semangat pelayanan terhadap Tuhan berapi-api, sangat bagus khotbahnya dan sangat sukses dalam memenangkan jiwa orang. Dia dicari-cari oleh banyak jemaat lokal. Ia telah berkhotbah di pelbagai KKR besar dan tidak mengherankan bahwa dalam KKR nasional, ia akan menjadi pembicara yang utamanya.

Meskipun ia belum tamat dari sekolah Alkitab, ia merupakan seorang pemuda yang menjadi anak-asuh dari evangelis inter-national Sammy Tippit yang amat terkenal, karena pemuda ini amat disukai dan bijak. Walaupun ia belum mempunyai seorang pacar wanita yang tetap, ia biasa berkencan di sekolah Alkitab. Secara rohani, ia seorang pemuda yang matang dan hati-hati. Namun, kadang-kadang, ia bisa terlalu naif dan lugu.

Pada malam pertama dari KKR itu, ia menjadi ketua bagian Pelayanan Konseling dalam suatu ruangan yang besar di belakang ruang studi pendeta. Seorang gadis yang cantik bertanya kepadanya apakah ia dapat berbicara secara pribadi dengan dia. Ia berusaha untuk menyerah-kan hal ini kepada rekan lainnya. Namun, ketika gadis itu agak memaksa, ia mengatakan bahwa ia harus menunggu sampai ia selesai dengan yang lain. Ketika pertemuan selesai satu jam kemudian dan semua konselor sudah pulang, ia berada sendirian dengan gadis itu.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba gadis itu keluar dari kamar seraya berteriak, “Dia mengganggu saya! Ia ingin memperkosa -ku!!”

Malam itu juga pendeta tuan rumah disertai beberapa hamba Tuhan yang merencanakan KKR itu berkumpul menghadapkan pengkhotbah muda itu dengan si gadis dan meminta klarifikasi. Ia dengan tegas menolak tuduhan gadis itu, namun ia tidak mempunyai seorang saksipun. Gadis itu sendiri agaknya mempunyai nama baik di dalam jemaat dan tidak ada alasan apapun untuk tidak mempercayai pernyataannya.

“Apa yang sesungguhnya terjadi dalam ruang itu?” tanya hamba Tuhan. Pemuda itu menjawab, “Bila aku menceritakan kepadamu, itu berarti bahwa saya menuduh seseorang di belakangnya, sama seperti hal itu terjadi pada diriku saat ini. Aku hanya minta, agar aku boleh dihadapkan kepada orang yang menuduh aku”

Para pendeta setuju bahwa mereka akan meminta gadis itu untuk dikonfrontasikan dengan pemuda yang bersangkutan dengan disaksikan oleh semua hamba Tuhan yang hadir dalam KKR itu. Dua malam kemudian, gadis itu datang dengan disertai kedua orang tuanya dalam pertemuan yang amat pribadi. Pemimpin para hamba Tuhan bertanya kepada gadis itu, apakah ia mau mengulangi lagi pernyataan tentang apa yang terjadi di dalam kamar itu. “Ia sudah menceritakan segala sesuatu apa yang terjadi,” kata ayahnya dengan geram, sedangkan ibunya mengamininya sambil melirik kepada pemuda itu.

“Nah, maukah Anda menceritakan versimu tentang apa yang terjadi di dalam kamar itu, nak?”, tanya hamba Tuhan kepada pemuda itu.

“Tidak, pak”, menjawab pemuda itu. “Itu tidak ada gunanya. Hanya dia dan saya mengetahui kebenarannya dan aku tak dapat membela diriku sendiri. Hanya aku ingin mengatakan kepadanya, Cindy, Anda tahu apa yang terjadi dan apa yang tak terjadi dalam kamar itu. Bila Anda tidak mengatakan kebenarannya, aku akan dicap sebagai seseorang yang munafik dan aku tidak pernah dapat berkhotbah lagi. Hal ini akan merusak reputasiku, reputasi jemaat ini bahkan eksistensi Tuhan. Bila aku memang berbuat seperti apa yang Anda katakan, aku layak menerimanya, namun kita berdua mengetahui, bahwa hal itu tidak benar. Aku memintamu dengan sungguh-sungguh dan di dalam nama Kristus, untuk menyatakan kebenarannya.”

Sesuatu keheningan yang amat dalam meliputi pertemuan itu, ketika para hamba Tuhan dan kedua orang tuanya menyaksikan bagaimana wajah gadis itu berubah dan akhirnya air matanya menetes dengan deras dari wajahnya. “Aku berdusta,” katanya dengan tenang, “Aku meminta maaf. Aku berdusta. Ia sama sekali tidak pernah menggangguku, sebaliknya akulah yang menggodanya. Dan ketika ia menolakku, aku begitu malu dan gusar, sehingga aku mengarang cerita itu. Aku mohon maaf!”

Jerry Jenkins, Hedges, 1989 - Higherpraise.com

Previous
Next Post »