Hanya Tuhan

Dia duduk tertunduk. Perutnya kembung, tetapi tak ada keluhan dari mulutnya. Hanya matanya yang menyiratkan rasa sakit yang dideritanya. Dia, seorang dokter yang cukup ternama dan disegani di kota ini. Aku menatapnya dengan perasaan terharu. Dia sedang memasuki tahap kritis saat kanker mulai menggerogoti paru-parunya. Aku pikir, sebagai seorang dokter, dia tentu menyadari bagaimana perkembangan penyakitnya saat itu.

Bahwa waktunya tidak lagi panjang. Bahwa saatnya sudah hampir tiba. Usianya memang masih muda. Belum memasuki tahun yang ke 60. Tetapi apa yang dapat dilakukan lagi? Mungkin sering kita bertanya-tanya, dimanakah Tuhan saat itu? Mengapakah semua permohonan seakan membentur dinding tebal ketakmampuan manusia sendiri? Dan saat dia amat berharap terjadi suatu keajaiban dalam imannya yang demikian teguh, keajaiban itu ternyata tidak juga datang. Dan pada akhirnya dia pun menyerah. Menjelang siang, di hari minggu yang mendung, dia pun meninggal.

Dimanakah Tuhan saat kita demikian membutuhkan Dia? Dimanakah Dia saat kita menyandarkan seluruh harapan kita padaNya? Apakah segala doa dan permohonan itu hanya lewat sia-sia saja? Ah, ternyata tidak. Maka saat terakhir kali aku menemuinya, saat maut belum mengakhiri perjalanan hidupnya, dia berkata, “Keberadaan Tuhan, bagiku, tidak hanya ada saat kita disembuhkanNya. Keberadaan Tuhan juga nampak saat kita didera penyakit. Ya, dalam sakit atau sehat, Tuhan selalu hadir. Sebab, bukankah penyakit juga adalah suatu keajaiban. Betapa segala akal dan pengetahuan kita sering tak berdaya melawannya. Maka adalah salah jika kita hanya dapat melihat keberadaanNya saat kita disembuhkan. Dalam segala pengetahuan yang telah kupelajari, aku tahu betapa terbatasnya kemampuan kita untuk mengobati. Terbatas sekali.”

Maka saat mengikuti misa requiem untuknya, menyaksikan betapa banyaknya yang ikut hadir memenuhi gereja, aku pun sadar bahwa dalam hidup ini, kita sungguh manusia yang rapuh. Namun dalam kerapuhan itu, kita tetap dapat berbuat sesuatu. Karena dalam segala kelemahan badan ini, kita toh tetap dapat menampakkan kekuatan Tuhan dengan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hidup tidak pernah sia-sia, betapa dalam pun penderitaan yang kita alami. Hidup tak usah dikeluhkan walaupun segala doa-doa permohonan kita seakan ditampik. Sebab Tuhan tahu apa yang terbaik untuk kita. Tuhan selalu tahu.

Dan hujan jatuh rintik saat peti jenasahnya diturunkan ke dalam tanah. Hujan jatuh rintik. Di sini, di pekuburan ini, berakhirlah hidup seorang dokter yang baik. Dengan iringan ratusan pelayat dari berbagai kalangan, dan agama, nampaklah betapa satunya keberadaan kita sebagai manusia di dunia ini dalam laku perbuatan yang baik. Dan aku percaya bahwa, seperti kalimat indah ini, suatu ratap tangis kedukaan di dunia ini boleh jadi merupakan suatu pesta pora kelahiran di dalam surga. Dia, yang pergi meninggalkan kita semua telah lahir kembali dalam dunianya yang baru. Dunia kekal di surga.

Doa-doa telah usai dipanjatkan. Tubuhnya pun telah menyatu dengan tanah berlumpur yang dibasahi oleh gerimis. Gerimis yang tetap jatuh rintik. Aku tertunduk di depan nisannya sambil berdoa. Berdoa untuk hidupnya selama di dunia ini. Dan berdoa pula untuk hidupku yang masih di dunia ini. Apa yang akan terjadi kelak, hanya Tuhan yang tahu. Hanya Tuhan. Maka biarlah semuanya terjadi menurut kehendakNya.

Jadilah kehendakNya diatas bumi seperti di dalam surga.....

Previous
Next Post »