Setelah Kau Menikahiku Bag. V

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah --simulasi-- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku? Tidak! Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.

Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jeans.

"Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit", katanya.

"Aku tidak mau pergi ke mal."

"Kau bilang tadi pagi...."

"Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu
kumat."

"Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat...."

"Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau."

"Jangan seperti anak kecil begini, Pit," geramnya. "Ayo!"

"Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!"

BAB III

Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan marah. Pria itu malah bersikap sangat manis. Wajah Idan benar-benar merah sekarang.

"Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi."

"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."

"Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar...."

"Idan!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan. Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.

"Apa-apaan ini, Pit? " tanyanya.

"Aku pulang ke rumah Ibu."

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku.

"Semudah ini kau menyerah?"

"Ini diluar dugaanku."

"Apa?"

"Aku tidak mengira aku menikahi monster."

Idan terdiam, menunduk. "Aku...," katanya lirih.

"Aku bawa pizza kesukaanmu."

"Aku sudah terlalu gemuk."

Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."

"Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa."

"Aku sudah mencoba jadi suami yang baik."

"Kau gagal."

"Setidaknya aku mencoba. Kau ... kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil...."

"Simulasi."

Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat.

"Simulasi."

"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu."

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.

"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda," suara Idan menyambutku.

"Terlalu lama," gumamku.

"Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."

Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup. Saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan. Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.

"Ayo pulang," katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya. Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberi ku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.

"Ganti bajumu," katanya.

"Semua bajuku di dalam kopor."

"Ambil bajuku."

"Tidak akan pernah!"

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar, "Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"

"Monster," desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan.

Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku. Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.

 

Bersambung ke Bagian VI

Previous
Next Post »