Setelah Kau Menikahiku Bag. II

"Astaga," gumam Idan.

"Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?"

"Gorila," jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

"Idan," keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus."

Wajahnya serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras."

"Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku.

"Aku perlu solusi, dan bukan ide-ide konyol."

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung. Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati.

"Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humornya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.

"Ya. Aku percaya kepadamu."

"Kalau be gitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah."

"Idan! " potongku tandas. "Ide apa?"

"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpan cang pada ekspresi wajahku.

"Kita akan  melakukan pernikahan."

"Apa?"

"Simulasi!" lanjut Idan sesegera mungkin.

"Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon."

"Bulan madu?"

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri --simulasi? sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"

"Idan," desisku. "Ini ide terbodoh yang pernah kudengar."

"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Idan mantap.

"Pikirkan, Pit. Ini satu-sat unya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian...."

"Serius, Idan, serius!"

"Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."

"Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan...."

"Simulasi," Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

"OK. Pernikahan simulasi," geramku. "Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai."

"Simulasi."

"Idan!"

"Upit!"

"Oh, Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku.

"Upit, kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?"

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. "Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu."

Matanya berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."

"Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit," ekspresinya tampak begitu tulus.

"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."

"Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh...," ia berhenti saat melihat raut wajahku, "Ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu."

Ia diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun."

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.

"Apa aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.

"Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi," matanya kembali tertawa.

"Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku."

"Idan," teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.

 

Bersambung ke Bagian III

Previous
Next Post »